Arsip Foto - Petugas menunjukkan sampel nyamuk Aedes aegypti yang sudah disuntik bakteri Wolbachia pada peluncuran kampanye pemanfaatan metode Wolbachia untuk mengendalikan DBD di Kota Denpasar, Provinsi Bali, Selasa (6/6/2023). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menegaskan tidak ada hubungan antara penyebaran nyamuk ber-wolbachia dan tingkat keganasan nyamuk Aedes aegypti, penyebab demam berdarah.

Menurutnya dikutip dari Kantor Berita Antara, karakteristik nyamuk Aedes aegypti di daerah yang telah disebarkan maupun belum disebarkan nyamuk ber-wolbachia tetap sama. Selain itu, tanda dan gejala orang yang terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti juga sama, seperti demam tinggi yang diikuti nyeri otot, mual, muntah, sakit kepala, mimisan, dan gusi berdarah.

“Secara keseluruhan karakteristik dan gejalanya sama. Bahkan, tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan,” kata Maxi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa dini hari.

Maxi mengungkapkan bahwa penyebaran nyamuk ber-wolbachia telah terbukti efektif menurunkan kasus demam berdarah di Kota Yogyakarta. Sejak pertama kali disebar pada tahun 2017, katanya, nyamuk ber-wolbachia telah terbukti mampu menurunkan 77 persen angka kejadian dengue dan 86 persen kejadian masuk rumah sakit.

Baca juga:  Kenali Gejala DB, Jangan Sepelekan Demam!

Menurut pantauan Kemenkes dan dinas kesehatan di Semarang, Kupang, Bontang, Bandung, dan Jakarta Barat, yaitu kota-kota tempat nyamuk ber-wolbachia disebar, konsentrasi nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia yang ada di alam berada di kisaran 20 persen setelah pelepasan. Angka tersebut, menurut dia, masih berada di bawah persentase nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia yang idealnya mencapai 60 persen di alam.

“Setelah populasinya mencapai 60 persen, pelepasan ember nyamuk ber-wolbachia akan ditarik kembali dan hasil penurunan kasus dengue baru akan mulai terlihat setelah 2 tahun, 4 tahun, 10 tahun, dan seterusnya seperti implementasi yang dilakukan di Kota Yogyakarta,” katanya.

Baca juga:  Bali Aman dari Virus “African Swine Fever”

Dirjen Maxi memastikan penerapan teknologi itu aman karena memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang ada pada serangga dan telah melalui penelitian yang relatif cukup panjang.

Penelitian teknologi wolbachia di Yogyakarta selama 12 tahun, mulai 2011 hingga 2023. Penelitian ini melewati empat tahapan penelitian, mulai dari fase kelayakan dan keamanan (2011—2012), fase pelepasan skala terbatas (2013—2015), fase pelepasan skala luas (2016—2020), dan fase implementasi (2021—2022).

Di dunia, kata dia, studi pertama aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT) yang merupakan sebuah desain dengan standar tertinggi.

Di Indonesia, lanjut dia, analisis risiko diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes Kemenkes dengan melibatkan 20 orang dari berbagai kepakaran. Hasil analisis memperlihatkan bahwa pelepasan nyamuk ber-wolbachia memiliki risiko yang sangat rendah.

Baca juga:  Fogging Dijadikan Lahan Bisnis, Warga Dipungut Rp 30 Ribu

“Dalam 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya dari penyebaran Aedes aegypti ber-wolbachia dapat diabaikan (negligible),” katanya.

Pada tahun 2023, WHO telah merekomendasikan penggunaan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia. Meski nyamuk ber-wolbachia telah disebar, Maxi mengimbau masyarakat untuk melengkapi upaya pencegahan dengan menerapkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M plus.

Langkah tersebut, menurut dia, dapat dilakukan dengan menguras tempat penampungan air, menutup tempat-tempat penampungan air, dan mendaur ulang berbagai barang yang berisiko dijadikan tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan demam berdarah dengue pada manusia. (adv/balipost)

BAGIKAN