Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Setiap rangkaian upacara yadnya, setelah dimulai pasti ada akhirnya. Begitu pula dengan rangkaian hari suci Galungan dan Kuningan, setelah diawali ritual Tumpek Bubuh/Wariga, dalam hitungan waktu 60 hari kemudian, akhirnya berujung pada Budha Kliwon Pahang yang dikenal sebagai hari Budha Kliwon Pegat Wakan/Uwakan/Warah yang dilaksanakan Rabu, 3 April 2024. Pegat artinya putus dan uwakan (uwak) berarti kembali.

Pegat Warah artinya diam, tidak berbicara. Pada hari yang suci ini para wiku (orang suci) atau umat yang ingin meningkatkan kesucian hendaknya melakukan tapa diam (monabrata) atau brata dhyana, atau samadhi. Tujuannya menyatukan tenaga hidup (prana) pada diri, agar tetap dalam keadaan sehat jasmani suci rohani guna mencapai puncak kesadaran spiritual.

Lontar Sundarigama menyuratkan: Buda Kliwon Pegatwakan, ngaran, pati warah panelasning mengku, biana semadi, waraning Dungulan ika, wekasing perelina, ngaran kalingan ika, pakenaning sang wiku lumekasang kang yoga semadi, umoring kala ana ring nguni, saha widi-widana sarwa pwitra, wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa abesik, katur ring Sang Hyang Tunggal, panyeneng tatebus (Buda Kliwon Pahang merupakan hari Pegatwakan, karena saat itu adalah berakhirnya tapa brata. Sang wiku patut melaksanakan renungan suci. Sarananya yaitu wangi-wangian dan sesayut dirgayusa dan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Tunggal, serta dilengkapi juga dengan penyeneng dan tetebus.

Baca juga:  Galungan, Berikan Kado untuk ”Otonan Gumi”

Selanjutnya sebagai tanda berakhirnya rangkaian hari suci Galungan-Kuningan, simbol kemenangan dharma berupa Penjor bisa dicabut. Namun,  terlebih dahulu ngaturang banten atau canang di Sanggah/Merajan sebagai sarana matur uning bahwa rangkaian rerahinan suci Galungan-Kuningan sudah selesai. Dilanjutkan prosesi masegeh, termasuk di lokasi Penjor, lalu dicabut. Sarana kelengkapan lainnya seperti bakang-bakang, lamak, sampian dan sebagainya dibakar. Asapnya membungbung ke angkasa, seolah menyampaikan tanda (berita) ke Kahyangan bahwa rangkaian hari suci Galungan-Kuningan telah usai, sesuai pawarah-warah (amanat) Ida Bhatari Durgha seperti disuratkan di dalam lontar Usana Bali.

Baca juga:  Penggunaan Meningkat Jelang Galungan, Warga Klungkung Diminta Tampung Air

Kemudian abunya dimasukkan ke dalam bungkak nyuh gading lanjut ditanam di belakang Palinggih Rong Telu (Kamulan). Maknanya, memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar diberikan keberkahan berupa kesuburan, kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, sakala niskala.

Lalu, bagaimana dengan eksistensi dharma, apakah setelah rangkaian hari suci Galungan-Kuningan berakhir turut juga putus (pegat), diam, tidak berdaya lantaran kembali dikalahkan atau dikuasai adharma? Betapapun yang namanya upacara yadnya tetaplah berada dalam ranah ritualistik simbolik ekspresif. Di balik ritual itu selalu menampilkan sejumlah simbol yang tentunya mengandung makna.

Makna inilah yang sebenarnya menjadi bagian paling esensial dari setiap pelaksanaan yadnya. Jika hari suci Galungan-Kuningan dimaknai sebagai kemenangan dharma atas adharma, maka meskipun telah berakhir rangkaian ritualnya, keberadaan dharma tetaplah ajeg, menjadikan umat tetap enteg/degdeg (tenang/damai) tidak lagi suka ngredeg (tanpa kendali) apalagi sampai melampiaskan gedeg (kemarahan) dengan cara saling pandeg (bertengkar/berkelahi) antarsesama umat atau saudara (nyama/semeton).

Baca juga:  Bali Menuju Pulau Digital

Simbol kemenangan dharma boleh berakhir melalui ritual Galungan-Kuningan, tetapi nilai-nilai kebenarannya tetap diaktualisasikan melalui berbagai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dengan bersandarkan pada ajaran etika/susila, seperti mengendalikan Sad Ripu, meliputi: tidak menuruti segala hasrat/keinginan (kama), tidak mudah marah (krodha), tidak serakah (lobha), tidak sombong/angkuh (moha), tidak mabuk (mada) dengan segala bentuknya, mulai miras hingga kekuasaan, dan tidak iri hati (matsarya) atas apapun yang berhasil didapat/dimiliki orang lain.

Jika ini bisa dilakukan, maka keberadaan dharma dalam diri tak akan pernah terkalahkan apalagi sampai dikuasai adharma, meski hari suci Galungan-Kuningan telah berlalu. Dharma raksatah raksitah, siapa yang menjaga tegaknya dharma dialah yang akan dilindungi dharma, demikian makna penting Budha Kliwon Pegat Wakan.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *