I Ketut Murdana. (BP/Istimewa)

Oleh  I Ketut Murdana

Sudah lama pendidikan formal dan non formal dalam penciptaan seni memasuki wilayah wacana “Seni Murni” melalui alur terobosan masing-masing. Lalu jawaban akhirnya adalah ragam pendapat dan pandangan serta ragam  visual yang “terbiasa” maupun baru nan segar. Keseluruhannya mengekspresikan roh kesyahduan estetik personal, akumulasi respons estetik semesta raya, tertuang dalam aneka wujud.

Selanjutnya pada sisi yang lain menempatkan kesengajaan menyangkutkan kajian ilmiah keilmuan menjadikan seni dimasuki wilayah keterukuran kuantitatif, serta pada sisi yang lain pula seni murni dimaknai kemurnian memurnikan dirinya sendiri. Dalam dunia substansinya yaitu jagat seni itu sendiri dan konteksnya terhadap jagat semesta dan Sang Maha Pencipta.

Alur proses memurnikan inilah proses kreatif “mencapai kemurnian”. Artinya Seni ya Seni, yang telah melepaskan ikatan fungsi dan kewahanaannya. Tetapi tetap terlibat dalam personal pribadi penciptanya, yang membutuhkan transformasi, pengujian panjang tentang “kemurnian” itu sendiri.

Semua ini adalah proses dan dinamika menelusuri isi yang diwadahi dengan termilogi “seni murni” yang telah terkondisi dalam rasa dan pemikiran para filosuf serta penggemarnya. Mengapa disebut penggemar karena masing pribadi diawali sentuhan “energi suksma” yang terjadi, sadar atau tidak sadar dalam kurun “waktu tertentu” itu terbuka dalam diri seseorang, lalu menggemari secara perlahan objek visual dan nilai intrinsiknya kemudian menjadi penekun yang serius, siap bergelut “berjuang” membangun esensi terdalamnya, berbagai konteksnya dalam kehidupan manusia.

Baca juga:  Ratusan KK Warga Desa Kedis Kesulitan Air Bersih

Mengenal awal proses terminologi ini, disini pula terbuka kemurnian energi pembuka (ontologis) yang mengantarkan rasa dan pikiran memasuki “rimba cosmik” yang disebut seni murni itu (epistemologi).

Dengan demikian kita telah berhadapan dengan:  (1) Realitas indrawi yang telah menjadi hasil galian persepsi dan interprestasi serta kerja fisik yang telah mensejarah, menjadi taman ria estetik duniawi. Persoalan ini mengandung serta melahirkan aneka daya pandang dan daya pikir baru menelusuri  esensi-esensi, berupaya menemukan kebenaran serta konteksnya dengan perkembangan peradaban seni budaya dunia. Realitas peradaban yang telah menggunung adalah martabat manusia di bumi ini menjadi narasi edukasi yang bisa dibuka dari jalan manapun.

Gelombang orientasi ini lebih menempatkan daya berpikir dan berprilaku manusia dalam ranah apara-widya. Pertanyaannya lantas tumbuh apakah realitas budaya ini adalah refleksi dari “kemurnian”. Ketika menelisik pertanyaan itu, itu artinya telah masuk dalam ruang berpikir filsafati.

Baca juga:  Bukti Pergerakan Aktivitas Berkesenian di Bali Tak Stagnan

Dalam hal filsafat Capra (2001:93) menguraikan bahwa untuk sampai pada titik pemahaman filsafat pada dasarnya secara esoteris, adalah religius. Tujuan utamanya adalah pengalaman mistik langsung (darsan) dari realitas. Secara alamiah pengalaman itu adalah religius, maka filsafat tidak dapat dipisahkan dengan agama.

Penyatuan keduanya itu nyata dalam Hinduisme. Realitas berpikir ini menempatkan jalur hubungan yang menyatu antara setiap unsur, menjadikan kesadaran monisme, yaitu semuanya menyatu dalam kesatuan (Brahman), (2) Realitas methafisis yang berada jauh (dura-dharsana=kemampuan melihat sesuatu yang jauh, melalui indra dan hati dura-srawana=mendengar sesuatu yang jauh, dan dura-atmaka=suatu kemampun menimang dan mensinergikan yang bertentangan mencapai harmoni), penelusuran dalam ruang tak terjangkau inilah para suci berkelana dengan kesungguhan penyerahan diri. Hingga pada saat yang tepat berkat dari signal-signal suci yang amat halus mengalir mencerahkan pribadi-pribadi yang dikehendaki-Nya. Mentranformasi signal-signal semesta nan suci ini, dikenal sebagai inspirasi bagi seniman dan wahyu bagi penekun spiritual. Oleh karena amat halus itu memerlukan gelombang dan wadah dalam “suasana komukasi yang pas”.

Apabila tidak pas sering berubah makna bisa menimbulkan kepincangan nilai-nilai emosional yang bisa berakibat terhadap kepincangan sosial.  (3) Bahasa methaporik nan estetis menjadi bahasa simbol mentranformasi nilai-nilai yang amat abstrak menjadi terindrawi, dari sumber-Nya lalu kepada ciptaan-Nya dalam ruang edukasi formal dan non formal serta edukasi alam semesta. Kemudian berhadapan sepanjang waktu dengan tingkat kualitas apresiasi pemahaman manusia di masyarakat luas.

Baca juga:  2,5 Bulan di Zona Kuning COVID-19, Pekan Ini Bali Alami Tren Kenaikan Kasus

Memahami kedua ranah besar keterlibatan pengetahuan tersebut di atas, dalam menjelajah realita duniawi dan realita methafisika. Pertanyaan tumbuh lagi apakah lantas yang disebut seni murni itu? Apakah “Seni” itu “Murni” karena paham sifat monisme ketunggalan dalam (Brahman), ataukah yang “Murni” itu “Seni” atukah “keduanya tunggal”.

Ruang pemikiran ini, setidak-tidaknya dapat memosisikan terminologi yang merujuk pada pendakian proses kreatif (remanasi), hingga mencapai “puncak” (kosong=sumber segalanya) lalu turun membumikan dunia idealisme pemahaman dan penciptaan seni menempati realitas duniawi, menjadi ragam wujud penciptaan yang “berguna” di bumi, memuaskan dan membahagian lalu mampu mengangkat martabat kemuliaannya.

Sebagai objek dan subjek studi amatlah penting memahami ruang kosmik kemurnian seni hingga mampu meresapi dan merasakan kebenaran sejati-Nya yang membumi, meresapi pribadi-pribadi penekunnya. Hingga pada saatnya proses pendewasaan studi benar-benar dirasakan kebenarannya.

Penulis Budayawan, Pensiunan Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN