Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tumpek Klurut telah diresmikan Pemerintah Provinsi Bali sebagai Hari Tresna Asih/Hari Kasih Sayang pada masa Gubernur Bali periode 2018-2023 melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi dalam Bali Era Baru. Lalu, apa makna dari Rahina Tumpek Klurut bagi masyarakat Hindu Bali? Benarkah, Tumpek Klurut merupakan “valentine day”-nya Bali?

Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si., mengatakan, secara filosofis Tumpek Klurut merupakan ekspresi atau bentuk rasa syukur atas anugerah yang diberikan Ida Sang Hyang Widi Wasa yang dilakukan dalam bentuk tresna asih (cinta kasih). Ekspresi tresna asih ini tidak hanya kepada sesama, tetapi tetapi kepada makhluk hidup lainnya.

Berdasarkan Lontar Prakempa, Lontar Aji Ghurnita, dan Lontar Purwa Raga Sesana menyatakan bahwa tumpek ini sejatinya adalah otonan sarwa tetangguran (berbagai jenis alat musik). Namun, jika merujuk pada landasan teologinya, pada Rahina Tumpek Krulut umat memuja Dewa Iswara dalam manifestasinya sebagai Dewa Keindahan, untuk memohon waranugraha agar kita terus menerus diberi kesenangan dan kebahagiaan lahir-batin dalam menjalani roda kehidupan.

Baca juga:  PKB XLV, "Segara Kerthi" Pemuliaan Laut sebagai Sumber Kehidupan

“Ketika seni menyentuh hati, dari hatilah tumbuh rasa cinta kasih. Sehingga, Tumpek Krulut dijadikan sebagai hari kasih sayangnya Bali,” ujar Gusti Widana dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Tumpek Klurut, Benarkah Valentine-nya Bali?”, di Warung Coffee 63 A Denpasar, Selasa (9/4).

Widana mengatakan tumpek ini tidak bisa disamakan dengan Valentine Day yang dirayakan oleh masyarakat global. Untuk itu, bagi masyarakat Bali, Tumpek Klurut inilah harus dijadikan momentum untuk menunjukkan cinta kasih kepada sesama dan makhluk hidup lainnya, terutama di Bali.

Baca juga:  Bali Bersiap Gelar Pemilu 2024

Sebab, seninya kehidupan yang indah itu adalah saling membantu, saling mengasihi, dan saling menolong sesuai prinsip wasudewa kutumbakam berdasarkan ajaran Tatwan Asi.

Guru Agama SMA Negeri 9 Denpasar, I Gusti Ayu Made Sukma Artha Dewi, S.Ag., M.Pd., mengatakan meskipun secara esensi ritual adalah otonan alat musik, seperti Gong, namun secara pemaknaannya terdapat nilai satyam, siwam, sundaram di dalamnya. Diungkapkan, nilai satyamnya terdapat landasan kebenaran yang sudah tercantum dalam lontar-lontar yang menjelaskan perayaan Tumpek Klurut. Kemudian Siwam di dalamnya terdapat kesucian, karena suara gong terdapat suara yang mencermikan dewa-dewi. Jika disuarakan secara bersamaan akan menghasilkan alunan musik yang sangat indah dan merdu.

Baca juga:  Di Jembrana, Tiga Caleg DPRD Hanya Perolah 1 Suara

“Pemaknaannya bahwa hidup kita itu ibaratkan seperti gamelan, ketika manusia sudah memahami peranannya masing-masing, fungsinya masing-masing, kedudukannya masing-masing otomatis akan tercipta yang namanya kehidupan yang selaras, serasi, seimbang, dan indah seperti alunan musik,” tandasnya.

Dikatakan, bahwa antara Tumpek Klurut sebagai Hari Tresna Asih dengan Valentine Day sangat berbeda. Berdasarkan sejarah saja, Tumpek Klurut sudah tercantum dalam lontar yang merupakan wahyu dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Sehingga, Hari Tresna Asih ini tidak mengadopsi dari Valentine Day. Pihaknya mengakui pemahaman tentang Hari Tumpek Klurut sebagai Hari Tresna Asih masih perlu disosialisasikan kepada generasi muda Bali, agar mereka tidak salah persepsi bahwa Hari Tumpek Klurut itu sebagaj hari otonan gamelan saja, tetapi Hari Cinta Kasih yang ada di Bali. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN