Oleh I Gusti Ketut Widana
Untuk kesekian kali terulang lagi pengenaan sanksi adat terhadap krama Bali, oleh dan atas nama desa adat yang sebenarnya berperan sekaligus bertanggung jawab membimbing, mengayomi dan melindungi warganya. Kali ini menimpa dua warga (KK) dari Dusun Sental Kangin, Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung yang menempati tanah pekarangan desa (PKD) milik desa adat.
Sanksinya disebut “kanorayang”, alias dikeluarkan dari
desa adat setempat (DENPOST.id, Senin, 8 April 2024). Bentuk sanksi “kanorayang” ini tergolong paling berat dibandingkan dengan “kasepekang” yang hanya berupa pengucilan, dimana krama tidak dibolehkan melakukan
kontak sosial dengan yang bersangkutan.
Itupun adakalanya bersifat sementara sampai ada keputusan terbaru dan terbaik setelah dilakukan pemulihan terhadap hal-hal yang dianggap sebagai faktor penyebab sanksi itu dikenakan.
Berbeda dengan sanksi “kanorayang”, sebagai bentuk reaksi adat yang setelah melalui beberapa tahapan (peringatan) diberhentikan sebagai krama dan berisiko dikeluarkan (kasarnya : diusir/katundung) dari wilayah (wewidangan/palemahan) desa adat. Sanksi ini secara spesifik hanya dikenakan kepada seseorang atau keluarga yang berstatus sebagai krama adat. Di luar itu, semisal warga endonan/tamiu (pendatang), apalagi dari dura desa (luar Bali), nyaris tak tersentuh alias
relatif aman dan terjamin.
Tak heran jika muncul pernyataan sinisme, bahwa desa adat dengan sanksi awig-awig/pararem-nya lebih
tajam ke dalam, tapi lemah ke luar. Boleh jadi, dari sisi ini tampak sekali “wajah” desa adat dengan segala aturannya, khususnya sanksi “kanorayang” terkesan
“menakutkan” — ngeri-ngeri sedap.
Meskipun sebenarnya pokok perkara sengketa tanah
yang menjadi penyebab munculnya kasus masih bergulir di lembaga peradilan. Artinya belum inkrah secara hukum, sehingga para pihak yang berkepentingan mestinya dapat menahan diri sampai ada putusan majelis hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Apalagi, secara hierarkhi, kedudukan hukum adat (awig-awig/pararem) berada pada posisi terbawah dari struktur hukum negara, lantaran substansi aturannya berasal dari norma kebiasaan lokal. Jadi, penerapannya tidak boleh bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Republik ini. Lebih-lebih yang namanya sanksi adat “kanorayang”, tak ubahnya seperti mencabut pohon beserta akarnya, yang sama artinya dengan mencabut hak hidup seseorang dus melanggar hak asasi manusia.
Masih syukur jika yang bersangkutan mempunyai lahan hunian lain/baru, kalau tidak? Jangan heran, berdasar rekam jejak terkait konversi, salah satu opsi jika krama Bali mengalami “nasib” di/terusir ini adalah berpaling dan lalu berpindah “status” kependudukan, bahkan sekaligus keimanannya.
Kalau sampai itu terjadi, lalu apa makna luhur dan mulia dari konsep Tri Hita Karana sebagai pilar utama konstruksi/bangunan desa adat dengan prinsip sukertha tata parhyangan dalam bentuk “bhakti” ke atas (niskala) kepada Hyang Widhi; lalu mengejawantah
melalui sukertha tata pawongan berupa tumbuhnya rasa “tresna” (kasih sayang) terhadap sesama umat/krama (ke samping/sakala); selain memelihara sukertha tata palemahan lewat sikap dan aksi peduli terhadap keharmonisan dan kelestarian alam.
Belum lagi adanya nilai-nilai kearifan lokal Bali yang begitu kaya menghiasi asas hidup masyarakat Bali, yang bersumberkan pada ajaran Tat Twam Asi dan Wasudewa khutum bhakam. Bahwa setiap manusia di mata Tuhan adalah sama, bersaudara yang wajib
hukumnya untuk saling asah-asih-asuh atas dasar nilai hakiki kemanusiaan (humanity) ditopang semangat suka-duka, nyama braya (tidak nyama brenye) dan druwenang sareng (bukan druwene serang), tanpa memandang perbedaan latar belakang (diversity), dimana semuanya dapat bersatu (unity) untuk hidup
lebih aman, sejahtera, rukun, damai dan membahagiakan.
Sudah saatnya, bentuk-bentuk sanksi adat yang selama ini sering dikritisi bahkan ditentang lantaran bertolak belakang dengan prinsip dasar kemanusiaan seperti
“kasepekang” dan “kanorayang” ini tidak lagi diterapkan, apalagi terhadap sesama nyama/semeton Bali. Tunjukkan dan buktikan bahwa desa adat itu sebagai pelindung krama sekaligus penjaga atau bentengnya Bali.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar