Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap tahun kebutuhan rumah baru di Indonesia adalah 800.000. Sedangkan backlog perumahan di Indonesia mencapai 7,6 juta orang yang belum mempunyai hunian yang layak.

Kementerian PUPR menargetkan dapat menekan backlog menjadi 2,2 juta tahun 2019 dengan program sejuta rumah. Direktur Jenderal Penyediaan Rumah Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan, program sejuta rumah mustahil akan terwujud tanpa bantuan dari semua pihak, khususnya pemerintah daerah (pemda). Program sejuta rumah ini perlu dorongan dari Pemerintah Daerah (pemda), baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Terutama dalam hal perijinan bagi pengembang. “Kadang di daerah belum sinkron dengan kebijakan pusat,” ujarnya Minggu (10/3).

Baca juga:  Jelang Akhir Tahun, Pemda Agar Pastikan Kesediaan Alkes

Dukungan pemda, terutama dalam hal perijinan agar investor tidak diperlambat untuk menanamkan investasi. “Agar bisa dipermudah, dipercepat. Bahkan Kota Pontianak bisa mengeluarkan IMB dalam waktu 5,6 jam. Itu sebagai contoh dan sudah kami berikan penghargaan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, rumah itu terdiri dari rumah formal dan rumah informal. Rumah formal dibangun oleh pemerintah melalui APBN salah satunya adalah rusunawa. Sedangkan rumah informal adalah rumah yang dibangun masyarakat secara mandiri.

Pemerintah baru bisa mengurangi backlog perumahan sekitar 30 persen bekerjasama dengan Bank BTN melalui subsidi silang, FLPP, dan lainnya. Sementara sisanya 50 persen partisipasi para pengembang swasta dalam menutupi kekurangan rumah tersebut.

Baca juga:  Deflasi Maupun Inflasi Harus Sama-Sama Dikendalikan

Rumah formal seperti rusunawa diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Ia mengimbau pemda, jika ada masyarakat yang belum memiliki rumah dengan penghasilan di bawah Rp 4 juta atau tidak tetap, dapat mengusulkan untuk mendapatkan rumah susun.

Dikatakan kualitas rumah susun yang dibangun saat ini berbeda dengan yang dulu. Seperti lantai keramik kini diganti dengan lantai sejenis granit, furniturenya sudah sudah seperti apartemen. “Kalau dulu masuk rusun malas karena kumuh. Sekarang setara apartemen,” tandasnya.

Baca juga:  SWI Kembali Temukan Investasi Tanpa Izin

Juga ada program rumah khusus (informal) misalnya rumah landed. Jika memiliki lahan yang luas, rumah landed bisa diterapkan. Sementara di Bali harga lahan sangat mahal, lebih mahal dari Jakarta.

Untuk nelayan yang rumahnya terkena dampak abrasi, tidak layak huni, lingkungan tidak sehat, pemda bisa mengusulkan membangun rumah dengan tipe 36. Asalkan lahannya ada. “Kemudian untuk yang di perbatasan dengna membangun pos-pos, kami sudah bangunkan rusunawa. Kami datangkan pengembang supaya bisa menjadi kawasan perkotaan,” bebernya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *