Oleh I Ketut Murdana
Hidup manusia dipenuhi oleh tugas dan kewajiban menjadi kerja yang mesti dikerjakan. Jika seseorang dalam melakukan tugas kewajibannya dengan penuh kesadaran dijiwai oleh sifat keilahian dalam setiap obyek yang terlibat di dalamnya, maka objek material dan subjek perilaku akan terhubung pada sumber-Nya. Itu artinya menyatu dalam kesamaan sifat pada harmoni gelombang “tertentu”. Menyatukan dan menyeleraskan gelombang inilah merupakan pendakian spirit yang bergulir sepanjang jaman mencapai kesempurnaan.
Rangkaian kesadaran tentang keilahian itu, perlahan membebaskan seseorang dari keterikatan perilaku (karma) dan kesenangan material duniawi. Artinya seseorang tidak bisa diikat oleh buah karmanya yang membuat hidup dan masa depan terbelenggu dan korban siklus karma. Dalam pengertian lain adalah kerja untuk kualitas kerja itu sendiri, ketika kualitas dan kematangan terjadi secara alamiah maka alam akan memberi jawabannya.
Kerja seniman adalah “mencipta” menuangkan pengalaman estetik dan pengalaman spiritualnya walaupun kedua pengalaman itu beda tipis tetapi saling melengkapi. Pengalaman estetis lebih menempatkan perhatiannya pada kesahduan estetik kasat indrawi lalu memasuki ruang imaji, intuisi lalu balik lagi mengindrawikan melalui proses kreatif. Pengalaman Spiritual melengkapi pengalaman estetik dengan menyadari bahwa dibalik keberadaan obyek kesyahduan indrawi, ada yang “mengadakan” atau juga yang “menyebabkan”.
Pertanyaan tentang siapa yang mengadakan dan menyebabkan itulah proses spiritual menuju keilahian-Nya, yang menempatkan nama Tuhan sebagai pencipta (Dewa Brahma). Dalam garis vertikal berarti bahwa seniman memperoleh berkat anugrah penciptaan dari Sang Maha Pencipta. Dalam ruang terbatas diri sendiri (Bhuana Alit) merefleksikan atau membumikan anugrah itu untuk kesejahteraan duniawi. Bayang-bayang rasa nan indrawi menjadi Spirit, mendorong energi penciptaan itu yang disebut inspirasi yang terus mengalir. Karena sifat kuasa-Nya yang penuh kasih terus mengalir maka disebut Dewi Saraswathi.
Kesadaran dan keyakinan pengalaman spiritual dan pengalaman estetik itu, lalu dihubungkan dengan ketidakterikatan terhadap belengguan karma penciptaan, maka seniman dalam menciptakan karyanya adalah pelayanan kepada Tuhan. Kesadaran dan keyakinan terhadap pelayanan ini, merupakan proses pendakian spirit seorang seniman memurnikan kewajibannya. Ketika sudah demikian berarti seniman telah menghubungkan kesadarannya pada sifat-Nya sebagai Kriya Sakti, yaitu: penciptaan demi kesejahteraan ciptaan-Nya sendiri.
Tugas dan kewajiban seniman merefleksikan dan mengindrawikan kebenaran sifat-sifat kemahakuasaan itu, menjadi wujud material duniawi yang menyejahterakan. Tentu beserta keterlibatan pengetahuan (Jnana Sakti), meresapi objek-objek indrawi, menjadi narasi tematik nan estetik dan religius (Wibhu Sakti), menguasai pengetahuan seni lalu mentrasformasikan kedalam gagasan baru yang segar dan menarik, serta menguasai managemen seni dalam kehidupan (Prabu Sakti).
Keempat kekuatan inilah yang disebut Cadhu Sakti, diwujudkan menjadi Padmasana tempat memuja-Nya.
Ketika pemahaman dan penyerapan esensi dasar kesemestaan ini terjadi dalam diri seorang seniman, maka praktik-praktik dalam penciptaan seni adalah pelayan kepada Tuhan. Dengan demikian seorang seniman telah mempeleh tuntunan Sat Guru yaitu: Guru Dewam yang terus dilantunkan oleh orang-orang suci saat melakukan pemujaan. Mengedukasi semangat berkarma, menyeimbangkan pengetahuan material dan spiritual dalam penciptaan seni inilah masalah yang cukup komplek di dalam zaman Kaliyuga seperti sekarang ini. Tetapi keyakinan, keberanian menghadapi tantangan adalah wiweka jnana, kekuatannya pasti hadir bagi siapapun yang tulus melakukan, karena memang itulah kebenaran dan keadilan hukum-Nya.
Kekuatan menembus kegelapan jiwa itulah kunci yang menempatkan kesadaran terhadap pelayanan adalah “yang utama”.
Sebagai penguat akhir alangkah indahnya sajian penyair Widyapati di bawah ini patut direnungi sebagai berikut: Tak terhitung jumlah jarak dan zaman terbentang. Kehidupan demi kehidupan di antara aku dan Dia. Dibawa oleh nasib, di sinilah aku.
Kesalahan bukan ada pada-Nya, tetapi ada pada diriku dan sangat menyakitkan. Sekilas intisari dari narasi syair itu, menempatkan kesadaran pada kekurangan dan kesalahan yang berakibat terkungkung nasib sebagai akibat karma. Tetapi “nasib” bisa dirubah dengan perbuatan mulia kebajikan. Bagaikan secangkir kerak kopi, bila dituangi seratus liter air, tidak lagi bisa menghitamkan air. Itu artinya kekuatan negatif tidak bisa mempengaruhi perilaku.
Perjuang ke arah inilah sesungguhnya perjuangan para seniman yang selalu bergerak di dunia estetik (Sundharam). Bukan memainkan karya seni, dengan menabur racun keburukan, menodai moralitas umat manusia. Menyajikan nilai-nilai erotik yang kebablasan di ruang publik. Dengan demikian cerminan nilai estetik yang mendorong arus erosi moral, menghilang taksu spirit edukasi kebajikan.
Penulis, Pengamat Seni, Pensiunan Dosen ISI Denpasar