DENPASAR, BALIPOST.com – Tim penyidik Pidsus Kejati Bali mengambil langkah cepat dalam penanganan dugaan pemerasan. Sehari setelah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), Jumat (3/5) siang, petugas langsung melakukan rekonstruksi di kafe, Jalan Raya Puputan, Denpasar.
Sebelum rekontruksi, begitu berada di pintu masuk kafe, tampak keluarga tersangka Ketut Riana (KR) datang dan langsung berpelukan. Bahkan saat berpelukan dengan salah satu keluarganya, KR tampak menitikan air mata.
Setelah itu Riana yang sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka tampak lebih tenang. Selain KR, An atau Andianto juga tampak hadir dan berstatus sebagai saksi. “Untuk AN statusnya masih saksi. Yang tersangka baru KR saja,” jelas Kasipenkum Agus Eka Sabana.
Rekontruksi memperagakan sembilan adegan, mulai dari tersangka turun, masuk kafe, ngobrol dengan AN, penyerahan uang dan disergap jaksa (OTT) hingga tersangka digiring ke mobil kejaksaan.
Kata Eka, tujuan rekontruksi ini adalah untuk memberikan gambaran atau keyakinan pada penyidik dari keterangan saksi-saksi yang memberikan keterangan. Sehingga antar pemeriksaan saksi menjadi suatu rangkaian peristiwa pidana. “Ini yang dicari penyidik. Mulai dari datang, pembicaraan, dan beralihnya uang dari yang membawa ke yang meminta,” jelasnya.
Informasi lain yang didapat, penyidik bakalan memeriksa saksi-saksi baik dari pihak desa adat maupun pemerintah di Kabupaten Badung. Tujuannya adalah menggali, salah satunya aliran dana apakah ada yang disetor ke desa adat atau menang kepentingan tersangka sendiri. “Ini sedang kita gali, apakah ada uang itu disetor ke desa adat. Atau memang kepentingan tersangka sendiri,” jelas sumber kejaksaan.
Sementara Eka yang ditemui di TKP tak menampik jika bakal memeriksa pihak terkait. “Misalnya, apa benar dinas atau pihak terkait tidak bisa mengeluarkan izin sebelum ada tandatangan kelian dinas maupun dari Jero Bendesa. Apakah benar jika mengurus Amdal harus dapat persetujuan atau tanda tangan desa adat. Ini perlu kita perdalam lagi,” katanya.
Ditanya apakah Jero Bendesa Adat Berawa merupakan penyelenggara negara? Eka menjelaskan dalam UU Tipikor sudah jelas disebut. Salah satunya disebut dalam Pasal 1 ayat 2 huruf C UU Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan dalam hal ini, Bendesa adat dinilai telah mendapatkan gaji dari Pemprov Bali, ada juga menerima fasilitas dari Pemkab Badung. “Bendesa Adat digajih negara melalui APBD Provinsi Bali,” jelas Eka.
Dan dalam kasus ini, tersangka Ketut Riana dijerat Pasal 12 e UU Tipikor.
Pasek Suardika, yang baru beberapa jam ditunjuk menjadi salah satu kuasa hukum tersangka menjelaskan bahwa ini ada fenomena hukum baru bagi Bali. “Apakah jabatan Bendesa Adat ini masuk ranah pidana khusus atau pidana umum. Kita lihat dulu bagaimana langkah kita karena belum tau detail. Nanti kita lihat hasil pemeriksaan dulu. Tapi saya yakin proses ini akan berjalan profesional, ” jelas Pasek Suardika yang hadir langsung di tempat rekontruksi.
Untuk saat ini, pihaknya akan melakukan pendampingan karena ini OTT. “Namun pada prinsipnya, fenomena hukumnya ke depan apakah bendesa adat diklasifikasikan sebagai pejabat yang berkaitan dengan pemerintahan. Ini kan perlu dievaluasi di internal Bali, karena selama ini Desa Adat sebagai daerah otonom. Hukum karena masyarakat adat ya otonom kalau diambil dari UUD. Kalau masuk pidana umum, maka bukan kejaksaan yang menangani dalam hal penyidikan. Tetapi jaksa hanya penuntutan. Tapi kalau pidana khusus maka benar ranah kejaksaan. Ini harus kita renungkan bersama,” ucap Pasek Suardika. (Miasa/balipost)