Bendesa Berawa, Ketut Riana saat diamankan aparat Kejati Bali, Kamis (2/5). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Kejati Bali terhadap Bendesa Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Ketut Riana pada Kamis (2/5) sore mencuri perhatian publik. Bahkan, publik dibuat tercengang lantaran selevel bendesa berani memeras seorang pengusaha berinisial AN dengan dalih untuk kepentingan adat, budaya, dan agama.

Sekretaris DPD Prajaniti Provinsi Bali, I Made Dwija Suastana, S.H., M.H., mengaku prihatin dan miris. Menurutnya bendesa sebagai pucuk pimpinan di desa adat jangan sampai melakukan tindakan di luar kewenangannya.

Dwija mempertanyakan darimana datangnya kewenangan desa adat melalui bendesa adatnya melakukan pungutan paksa terhadap investor. “Apakah karena konon ada pergub-nya? Apa Pergub boleh mendelegasikan pemungutan yang bersifat memaksa yang sesungguhnya merupakan kewenangan negara? Delegasi kewenangan hanya mungkin diberikan oleh struktur pemerintahan atasan kepada struktur pemerintahan bawahan, dan desa adat (bendesa) jelas bukan bawahan Gubernur,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Harian Nasional Masih di Tiga Ratusan Orang

Artinya, lanjut Dwija harus ada aturan mainnya berupa Undang-Undang (UU). Jika dalam UU itu dikatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk desa adat yang ada di Bali) diberi wewenang untuk melakukan pungutan yang bersifat memaksa (dalam batas-batas tertentu) itu adalah pungutan yang sah,
maka bendesa tidak akan “abuse of power”.

Koordinator Pusat Kajian Desa Adat Unhi Denpasar, I Made Endra Lesmana Putra, juga sangat menyayangkan kejadian OTT terhadap Bendesa Berawa. Kejadian ini telah mencoreng kedudukan desa adat yang menjadi garda terdepan dalam pelestarian, pengembangan, dan
kemajuan adat, tradisi, seni, dan budaya yang ada di masing-masing wewidangan desa adat di Bali.

Menurutnya, fenomena seperti ini ke depannya akan banyak terjadi. Sehingga perlu ada diskusi khusus antara Majelis Desa Adat (MDA) se-Bali, Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) se-Bali dan kelompok ahli bidang hukum untuk mengkaji kembali peran dan fungsi keberadaan dan eksistensi desa adat ke depannya. “Ini penting didiskusikan agar hal-hal seperti ini tidak merusak citra, nilai dan esensi desa adat itu sendiri,” kata Endra, Jumat (3/5).

Baca juga:  Kembalikan Industri Pariwisata, Wagub Cok Ace Beber Tiga Tahapnya

Dikatakan, desa adat memang memiliki kewenangan untuk melakukan pungutan ke pada para pendatang termasuk investor di wilyahnya. Ini sesuai dengan ketentuan perarem yang dibuat oleh masing-masing desa adat yang secara rinci dalam turunannya sesuai pasal 37 Permendagri Nomor 44 Tahun 2016.

Kemanfaatannya untuk menjaga keajegan desa adat sebagai pelaku budaya dan adat istiadat di Bali. Karena budaya dan adat istiadat yang menjadi daya tarik wisatawan dan investor. Sehingga, sudah barang tentu kewajiban menjaga alam, budaya dan masyarakat tidak mudah bagi desa adat sendiri seiring derasnya pengaruh teknolgi dan budaya luar.

Baca juga:  Empat Zona Merah Mendominasi, Sumbang Tambahan Kasus hingga 75 Persen

Pihak yang masuk ke Bali, seperti investor juga harus paham hal ini. Jangan hanya “memanfaatkan saja”, harus ada peran nyata yang dilakukan dalam menjaga alam, budaya, dan adat istiadat Bali itu. Namun, pungutan yang dilakukan harus sesuai dengan teknis dan mekanisme yang berlaku agar tidak menimbulkan persepsi negatif, bahkan melanggar ketentuan aturan di atasnya.

Terkait kasus ini, Kadis PMA Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra juga mengaku prihatin. Pihaknya oun akan segera berkoordinasi dengan MDA Provinsi Bali untuk menyikapi kasus ini supaya tidak terulang lagi. “Kami bersama MDA tentu akan berembug berupaya untuk melakukan langkah pencegahannya,” tegas Kartika Jaya Seputra. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN