Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Badung menggelar sidak Penduduk Pendatang (Duktang), Rabu (26/4). (BP/Dokumen)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Kemajuan pariwisata menjadikan ekonomi Bali tumbuh lebih tinggi. Akibatnya, Bali diserbu penduduk pendatang (migran). Di samping soal perlunya penyediaan pangan yang lebih besar, angka kriminalitas yang tinggi menjadi dampak negatif dari serbuan para migran yang lebih banyak tidak berkualitas. Perlu pengawasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap para migran agar dampak negatif dapat ditekan.

Ketua Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Cabang Bali Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si. dan Guru Besar FEB Undiknas, Prof. IB Raka Suardana memberikan catatan khusus terhadap keberadaan migran di Bali.

Murjana mengatakan kehadiran para migran di Bali, berdampak pada ketidakseimbangan distribusi penduduk. Daerah Bali Selatan, khususnya Denpasar, Badung, dan Gianyar memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya.

Data Statistik Kriminalitas Provinsi Bali 2022 (BPS, 2023), menunjukkan tindak pidana tertinggi yang dilaporkan terjadi di Kota Denpasar dan Badung, ini berkorelasi dengan tingginya migran masuk di kedua wilayah ini. “Dengan demikian upaya-upaya partisipatif dalam penanggulangan tindak pidana penting melibatkan para migran, selain meningkatkan efektivitas pola pola pengamanan yang sudah ada,” kata Murjana.

Sementara itu, Raka Suardana, Minggu (5/5) mengatakan, banyak migran yang datang berkualitas dan yang lebih banyak lagi yang tidak. Problem terbesar di Bali ini dalam beberapa tahun terakhir ini yang datang adalah yang tidak berkualitas.

“Mereka menjadi pekerja serabutan, dan bahkan karena tidak punya pekerjaan, tidak punya kompetensi, tidak punya keterampilan, akhirnya lari ke kriminal, dan ini kita lihat dalam beberapa pekan terakhir, banyak sekali yang memang pas-pasan kemampuannya, mabuk-mabukan lalu berkelahi termasuk kejadian terakhir yang di Batubulan,” bebernya.

Baca juga:  Penghuninya Tidur, Empat Bedeng Dilalap Si Jago Merah

Perlu dilakukan pengawasan dan seleksi bagi migran yang datang ke Bali. “Intinya adalah bahwa kita harus selektif menerima orang datang, yang harus melakukan desa adat dengan perangkat perangkatnya, pecalang harus ngecek setiap hari. Ketika tidak punya pekerjaan pasti tentu harus dìsikapi bagaimana, apakah bisa dipulangkan dan sebagainya. Dan ini harus dilakukan. Kalau tidak begitu, semakin hari kriminalitas, semakin tumbuh di Bali,” tandasnya.

Hasil Sensus Penduduk Bali tahun 2020 menunjukkan jumlah penduduk Bali mencapai 4,32 juta jiwa. Dibandingkan dengan hasil sensus penduduk 2010, selama periode 2010-2020 penduduk Bali meningkat rata-rata 1,01 % setahun.

Murjana mengatakan, pertumbuhan penduduk ini secara demografi ada dalam klasifikasi relatif ideal dengan tingkat kelahiran total (Total Fertility Rate, TFR) mencapai 2,04, juga dalam klasifikasi ideal.

Namun, pertumbuhan penduduk itu harus juga disikapi berkaitan dengan dampak kebutuhan pangan dan keamanan. Ada beberapa permasalahan terkait dengan kependudukan Bali. Pertama, jumlah penduduk yang semakin meningkat, walaupun dengan pertumbuhan yang semakin menurun. Kedua, distribusi atau persebaran penduduk yang tidak merata. Kedua persoalan ini berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, dan juga budaya.

Peningkatan kebutuhan akan pangan berjalan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan ini akan jauh meningkat lagi ketika diperhitungkan pemenuhan kebutuhan pangan untuk wisatawan. Peningkatan jumlah penduduk di satu sisi berdampak peningkatan pemenuhan pangan, namun di sisi lain juga berdampak pada alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian.” Ini dua hal yang saling bertentangan. Karenanya ke depan Perencanaan Kebutuhan pangan ini akan memerlukan perhatian yang semakin serius,” ujarnya.

Baca juga:  Ternak Babi Langka, Pedagang dan Jagal di Badung Mulai Kesulitan Stok

Menurutnya penanganan kebutuhan pangan Bali sudah dipersiapkan secara serius Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Privinsi Bali. Hal ini dapat Dilihat dari perencanaan pembangunan pada tingkat Kabupaten/kota maupun provinsi. Kemudian, apakah perkembangan penduduk akan memunculkan persaingan akses dalam perebutan pemenuhan kebutuhan akan pangan?

Selama ini, pemenuhan kebutuhan akan pangan disyukuri tidak memunculkan gejolak, riak-riak terjadi ketika harga-harga kebutuhan pokok, khususnya pangan, seperti beras dan Lainnya meningkat. Ini sifatnya temporer. Berkat kerjasama berbagai pihak, produsen, distributor, transportasi, dan partisipasi konsumen yang dikoordinasikan oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), dan juga upaya upaya lain yang dilakukan Pemerintah dan komunitas memungkinkan persaingan akses memperoleh kebutuhan pangan menjadi relatif lebih berkeadilan.

Perkembangan penduduk di suatu wilayah ditentukan tiga faktor, kelahiran, kematian, dan mobilitas penduduk. Untuk provinsi Bali, fertilitas sudah termasuk rendah (ideal), kematian rendah. Dari kedua faktor ini Bali termasuk salah satu provinsi yang sangat berhasil mengendalikan kelahiran dan kematian. Namun di sisi lainnya, keberhasilan pembangunan Bali juga menarik para pelaku mobilitas untuk datang ke Provinsi Bali.

Migran masuk tertinggi adalah menuju Kota Denpasar, kemudian Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar. Para pelaku mobilitas, baik permanen (ingin menetap) maupun non permanen (tinggal tapi tidak ingin menetap) umumnya berasal dari beberapa Kabupaten di Bali, seperti Buleleng, Karangasem, Bangli, dan beberapa kabupaten lainnya.

Ketiga Kabupaten/kota ini terjadi migrasi neto yang positif, artinya migrasi masuk lebih banyak dibandingkan dengan migrasi keluar. Selain pelaku mobilitas penduduk dari beberapa Kabupaten di Bali, pelaku mobilitas juga banyak berasal dari Provinsi Lainnya, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, termasuk juga Nsa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Migran di Bali juga ada yang berasal dari luar negeri.

Baca juga:  Polres Karangasem Bekuk Pengedar Narkotika

Akademisi ekonomi dari Undiknas Prof. IB. Raka Suardana, Minggu (5/5) mengatakan, serbuan migran ke Bali yang tidak terkendali, menurutnya karena budaya orang Bali yang terbuka terhadap kedatangan orang. “Keterbukaan orang Bali, penerimaan orang Bali sangat dimanfaatkan, kita sangat permisif. Memang tidak boleh kita melarang, tidak ada larangan bagi siapapun kecuali warga negara asing tapi kita punya desa adat, desa adat seharusnya bisa memfilter siapapun yang ada di wewidangannya untuk didata. Kalau misalkan pekerjaan tidak ada maka tentu harus disikapi,” ujarnya.

Jika di desa dinas hanya melakukan pencatatan kependudukan namun problemnya adalah tidak semua desa adat mempunyai kemampuan yang sama, pemikiran yang sama dan ia melihat banyak sekali kedatangan orang tinggal begitu saja di rumah kumuh, bahka dalam satu rumah kecil, bisa dihuni oleh 10-15 orang dari daerah timur dan daerah barat.

“Ini yang membludak di Bali dan banyak sekali daerah-daerah padat penduduk, kedatangan dari luar, tapi tidak terdeteksi. Bisa juga terdeteksi tapi tidak rungu karena kita tidak ngeh, tidak peduli yang seperti itu. Kalau sudah kejadian atau terjadi perkara, baru kita seperti pemadam kebakaran, padahal kita kuat sekali desa adatnya,” bebernya.

Dengan kedatangan wisatawan ditambah jumlah penduduk pendatang juga menjadi persoalan pangan. Kebutuhan pangan semakin meningkat di tengah lahan pangan semakin berkurang. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *