Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Pemerintah diminta untuk membentuk femisida watch untuk mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan terhadap keluarga korban femisida. Permintaan itu datang dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menanggapi tewasnya perempuan dalam sejumlah kasus pembunuhan belakangan ini.

“Pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari rekomendasi umum Komite CEDAW Nomor 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch,” kata Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati saat dikonfirmasi di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Minggu (12/5).

Baca juga:  Arus Balik Lebaran, Pemudik Kembali ke Bali Baru 32 Persen

Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gender-nya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender yang terjadi sebelumnya.

Retty Ratnawati mengatakan, kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau ada 95 kasus, pada 2021 ada 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 terpantau 159 kasus yang indikatornya berkembang seiring perkembangan pengetahuan tentang femisida.

“Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi,” katanya.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Nasional Lampaui 2.000 Orang, Jakarta Masih Alami Lonjakan

Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menambahkan selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.

“Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, diantaranya cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggung jawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan,” kata Rainy Hutabarat.

Baca juga:  Transmisi Covid-19 Berpotensi Meningkat Saat Libur Nataru

Motif-motif tersebut menurut dia, menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, serta rasa memiliki perempuan, dan ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *