Made Krisna Dinata S.Pd direktur WALHI Bali (BP/ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – World Water Forum (WWF) ke-10 diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada 18 sampai 25 Mei 2024. Sebanyak 172 negara akan mengirimkan delegasinya dalam pertemuan internasional terbesar di bidang air.

Konferensi Internasional WWF ke-10 di Bali ini pun mendapat sorotan dari organisasi pemerhati lingkungan WALHI Bali. Made Krisna Dinata S.Pd selaku direktur WALHI Bali dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/5), mengatakan jika di Bali banyak pembangunan infrastruktur yang mendegradasi bahkan menghilangka Subak atau sistem irigasi tradisional air di Bali.

Lebih jauh Subak dengan fungsi hidrologisnya merupakan penampungan alami bagi air. Setiap hektarnya mampu menampung air sebanyak 3000 ton bila air tingginya 7 cm. Apabila subak terus berkurang dan habis, secara langsung Bali akan mudah diterpa bencana, seperti banjir.

Baca juga:  Sidak Pasar Senggol, Petugas Temukan Masyarakat Belum Terapkan Jaga Jarak

Selanjutnya Krisna juga menyoroti masifnya alih fungsi lahan akibat pembangunan akomodasi parawisata yang tentu sangat banyak mengkonsumsi air dalam aktivitas operasionalnya. Pembangunan hotel dan sarana akomodasi pariwisata lainnya amat meningkat tajam bahkan hingga dua sampai tiga kali lipat.

Data Badan Pusat Statistik menunjukan pada tahun 2000 jumlah hotel bintang sebanyak 113 hotel dan di tahun 2023 menjadi 541 hotel, dengan jumlah kamar di tahun 2000 berjumlah 19.529 dan meningkat tajam menjadi 54.184 di tahun 2023.

Baca juga:  Gerindra Masih Jajaki Koalisi di Pilgub 2018

“Angka tersebut menunjukan pertumbuhan yang amat signifikan terlebih beberapa pakar telah menyebutkan jika Bali telah overtourism bahkan overbuild, banyak penelitian yang mengungkapkan jika akomodasi pariwisata adalah satu industri yang rakus akan air yang mana dalam beberapa penelitian menyebutkan jika satu kamar hotel membutuhkan 800 liter/kamar/hari, sangat jauh lebih banyak ketimbang kebutuhan rumah tangga,” tegasnya.

Pembangunan Infrastruktur yang menyebabkan alih fungsi lahan dan mengurangi jumlah subak di Bali tentunya merupakan hal nyata yang mengantarkan Bali pada krisis air. Terlebih banyak temuan jika akomodasi pariwisata lebih banyak menggunakan air bawah tanah (ABT) ditambah dengan peruntukan kawasan hujau yang hingga kini tidak memenuhi kriteria sebanyak 30 persen sesuai luas wilayah dalam ketentuan peraturannya.

Baca juga:  Dari Pertumbuhan Ekonomi Bali Parah hingga Jalani Karantina Hampir 2 Bulan

“Sehingga kami mendesak pemangku kebijakan untuk menghentikan segala bentuk pembangunan yang ekstraktif dan memperparah keadaan lingkungan yang mengancam ketersediaan air dan yang mengancam Subak di Bali” imbuhnya. (Suka Adnyana/balipost)

BAGIKAN