Diskusi soal hukum adat di Sanur belum lama ini. (BP/Asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Meski banyak melihat ada ketumpangtindihan antara hukum adat dengan hukum nasional, hendaknya hal itu disikapi secara arif dan bijaksana. Di Bali sendiri hukum adat masih sangat kental diterapkan di masyarakat. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengawali era baru hukum pidana di Indonesia. Setelah melewati lebih dari 70 tahun pembentukan, Indonesia akhirnya memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang diundangkan pada 2 Januari 2023.

Dalam UU KUHP diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat kelompok tertentu atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat. Untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, Pasal 2 ayat 2 KUHP yang mengamanatkan Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Baca juga:  Di Tengah Pandemi, Keselamatan Rakyat Paling Utama

Untuk menyempurnakan rancangan PP tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyelenggarakan FGD di Sanur, Denpasar Selatan.

Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh masukan dari masyarakat, akademisi dan stakeholder lainnya sebagai bentuk partisipasi yang bermakna dalam perumusan PP Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat ini.

Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Kemenkumham, Y. Ambeg Paramarta, belum lama ini yang bertindak sebagai moderator dalam FGD menyampaikan pentingnya pengakuan dan perlindungan hukum adat di Indonesia. “Hukum adat merupakan kekayaan budaya bangsa yang harus dilestarikan dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional,” ujar Ambeg.

Baca juga:  Modus Baru, Beredar Ekstasi Dikemas Mirip Obat

Lanjut dia, PP ini diharapkan dapat menjadi landasan yang kokoh untuk penetapan dan penerapan hukum adat di seluruh wilayah Indonesia.

Ambeg Paramarta menjelaskan bahwa FGD di Bali dipilih karena adat istiadat di Bali sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. “Bali memiliki tradisi hukum adat yang kuat dan masih dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masukan dari berbagai pihak di Bali sangat penting untuk memastikan bahwa permen ini dapat mengakomodir kekhasan dan kearifan lokal yang terkandung dalam hukum adat di Bali,” lanjutnya.

Dalam diskusi itu dibahas materi muatan rancangan PP tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat harus bisa mengatur pengintegrasian hukum adat dari masyarakat hukum adat yang ada dan diakui keberadaannya kedalam sistem hukum nasional. Hal ini penting untuk mewujudkan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

Baca juga:  Tak Perlu Diubah! Pariwisata Bali Berlandaskan Kebudayaan

FGD ini menghadirkan tiga narasumber ahli hukum, yaitu Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., MA., dari Universitas Indonesia, Dr. Albert Aries, S.H., M.H. dari Universitas Trisakti, dan Dr. Jimmy Usfunan, S.H., M.H. dari Universitas Udayana.

Para narasumber memberikan paparan tentang berbagai aspek hukum adat, termasuk pengakuan dan penerapannya dalam sistem hukum nasional.

FGD ini diharapkan dapat menghasilkan masukan yang konstruktif dan bermanfaat untuk penyempurnaan rumusan PP tentang hukum adat. Sehingga, hukum adat di Indonesia dapat diakui, dihormati, dan dilindungi dengan baik, serta dapat berkontribusi dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. (Miasa/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *