DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana keberlanjutan proyek pembangunan Bandara Bali Utara di Kabupaten Buleleng, Bali mendapat tanggapan dari Gubernur Bali periode 2018-2023, Wayan Koster. Koster tidak mempermasalahkan dibangunnya bandara itu.
Asalkan, infrastruktur pendukungnya jelas dan bermanfaat bagi perekonomian masyarakat Bali. Menurut Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini, membangun Bandara Bali Utara membutuhkan waktu cukup lama. Paling cepat 5 tahunan.
Sebab, sebelum bandara dibangun harus dibangun infrastruktur pendukungnya. Pertama, menentukan dimana titik lokasi yang tepat untuk dilakukan pembangunan Bandara Bali Utara. Berikutnya adalah menentukan pilihan akses menuju lokasi bandara.
Infrastrukturnya bisa berupa jalan tol atau alternatif lain, semisal kereta api. Pembangunan akses ini dibutuhkan studi cukup lama. “Pembangunan infrastruktur penghubungnya ini perlu waktu, apakah jalan tol atau transportasi lain, misalnya kereta api atau transportasi lainnya. Studinya merlukan waktu, saya kira untuk aksesnya paling tidak setahun,” ujar Wayan Koster seusai memberikan Kuliah Umum di Primakara University Denpasar, Selasa (28/5).
Setelah selesai memutuskan pilihan infrastruktur penghubungnya, selanjutnya dilakukan pembebasan lahan. Menurut Koster, dalam pembebasan lahan tidak gampang.
Apalagi, struktur daratan Bali terdiri dari bukit dan lembah, sehingga harus banyak membangun jembatan. Dalam proses pembebasan lahan ini membutuhkan waktu paling cepat 2 tahun. “Jadi membebaskan lahannya itu paling cepat 2 tahun,” tandas Koster.
Setelah berhasil membebaskan lahannya, lanjut Koster dilanjutkan dengan pembangunan infrastrukturnya. Pembangunan akses penghubung yang dipilih adalah jalan tol ataupun kereta api, dinilainya membutuhkan waktu paling cepat 2 tahunan.
Setelah itu, baru dilanjutkan pembangunan bandaranya. “Ini artinya dalam 5 sampai 6 tahun ke depan itu harus menyiapkan pilihannya, studinya, dan memutuskan infrastrukturnya apakah tol atau kereta Api. Baru kita bicara pembangunan bandara supaya bandara itu dibangun berfungsi secara optimal,” ujarnya.
Ia pun mencontohkan sejumlah Bandara yang saat ini tidak berfungsi maksimal. Bandara Kertajati di Jawa Barat yang sudah selesai pada 2018, namun sampai sekarang belum beroperasi optimal. Bahkan baru beroperasi akhir tahun 2023. Dari mulainya beroperasi, baru 3 maskapai yang menggunakannya, yaitu Super Jet, Citilink, dan Air Asia. Itu pun sering tidak bisa terbang karena kekurangan penumpang.
“Jadi, jangan sampai investasi yang sudah besar tidak berfungsi secara maksimal karena akses penghubungnya belum siap. Begitu juga bandara yang lain. Di Bandara Kulon Progo (Yogyakarta, red) juga belum bisa optimal. Begitu juga di Kediri (Bandara Dhoho,red) sudah 2 tahun selesai sampai sekarang belum bisa beroperasi. Jangan sampai pengalaman ini terulang di Bali,” tegas Koster.
Koster menegaskan yang terpenting dalam membangun Bandara Bali Utara adalah dapat memperkuat perekonomian Bali. Di samping juga mendorong pertumbuhan ekonomi bagi pelaku usaha dan warga yang ada di Bali.
Jangan sampai pembangunan bandara yang sudah menghabiskan lahan begitu banyak, masyarakat lokalnya terpinggirkan, sehingga ekonomi tidak banyak dirasakan oleh rakyat Bali.
Selain itu, hal yang paling prinsip dalam membangun Bandara Bali Utara yakni jangan sampai budaya Bali ini tergerus seperti di Hawaii. “Saya diwanti-wanti, jadi kalau Bandara Bali Utara dibangun betul-betul pastikan harus diproteksi budayanya jangan sampai rusak seperti di Hawaii. Dan kemudian memastikan keberadaan bandara itu memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat dan tidak menggusur warga lokal. Kalau itu bisa dilakukan tidak masalah (pembangunan Bandara Bali Utara dibangun,red), karena ini perlu pembahasan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah,” ujarnya. (Ketut Winata/balipost)