JAKARTA, BALIPOST.com – Guna mempercepat pembangunan di Papua, pemerintah menerjemahkan visi “Terwujudnya Papua Mandiri, Adil, dan Sejahtera” yang terkandung dalam Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2024 menjadi tiga jenis perencanaan pembangunan.
“Pertama, memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan merata, serta membudayakan hidup sehat dan bersih di masyarakat menuju Papua Sehat,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa dalam peluncuran RIPPP dan Sistem Informasi Percepatan Pembangunan Papua (SIPPP), di Kota Sorong, Papua Barat Daya, yang dipantau secara virtual di Jakarta, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (7/6).
Dengan demikian, diharapkan angka prevalensi stunting turun hingga di bawah 10 persen pada tahun 2041, umur harapan hidup meningkat, serta seluruh kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria.
Kedua, memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk membentuk pribadi unggul, kreatif, inovatif, berkarakter, dan mampu bekerjasama menuju Papua Cerdas. Sehingga, harapan lama sekolah di wilayah Papua pada tahun 2041 ditargetkan dapat mencapai 15-16 tahun.
Terakhir ialah meningkatkan kompetensi, kreativitas, dan inovasi dalam pengembangan potensi ekonomi lokal yang berdaya saing menuju Papua Produktif.
Dalam misi ini, diharapkan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka dapat turun masing-masing menjadi 5,8-2,82 persen dan 4,11-1,73 persen pada tahun 2041.
Di samping itu, ada empat prasyarat utama dalam rangka melaksanakan tiga misi tersebut untuk mencapai sasaran pembangunan Papua.
Pertama yaitu infrastruktur dasar dan konektivitas yang mendukung peningkatan akses ke pusat pelayanan dasar, pusat penggerak ekonomi, serta konektivitas intra dan antarwilayah.
Kedua adalah lingkungan hidup dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, memperhatikan carrying capacity (daya dukung) wilayah, ketahanan iklim, dan risiko bencana.
Prasyarat ketiga mengenai tata kelola pembangunan untuk memperkuat pelaksanaan otonomi khusus, menjaga keamanan dan ketertiban, serta mempercepat operasionalisasi daerah otonom baru.
Terakhir yakni diperlukan perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat atas tanah adat, tanah ulayat, dan hutan adat, serta pelibatan masyarakat adat, tokoh adat, agama, dan perempuan dalam pembangunan untuk memastikan pembangunan sesuai dengan kontekstual budaya sosial.
“Kami menyebutnya keempat hal itu merupakan conditio sine qua non (tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting) yang harus dipenuhi,” ujar Suharso pula. (Kmb/Balipost)