SINGARAJA, BALIPOST.com – Hari Pagerwesi di Buleleng setiap tahun dirayakan dengan istimewa. Sehari sebelumnya umat Hindu di daerah ini membuat perlengkapan upacara mulai dari lawar, sate, dan olahan daging babi, ayam, hingga kerbau. Bukan hanya itu, hari raya ini terasa sama seperti ketika umat merayakan Galungan atau Kuningan, karena disi dengan persembhayangan ke pura umum, sanggah dadia (keluarga besar-red), dan ke tempat bekerja.
Keunikan yang tidak ada di daerah lain di mana umat menggelar persembahyangan di kuburan (setra) hingga di tamam makam pahlawan.
Suasana hari raya Pagerwesi Rabu (20/3) mulai terasa sejak pagi hari. Jalanan di perkotaan tampak lengang dan toko hingga kantor instanasi pemerintah tutup. Jalanan hanya ramai oleh lalu lalang umat yang mengendari sepeda motor atau mobil pribadi untuk menuju ke tempat persembahyangan.
Seperti tampak di Pura Agung Jagat Natha, Jalan Pramuka Singaraja. Umat mulai dari anak-anak dan orang dewasa hilir mudik masuk kejabaan pura untuk mengikuti prosesi persembahyangan. Selain itu, banyak juga umat menggelar persembahyangan dari bagian luar pura tepat di pinggir Jalan Pramuka.
Pemandanagan serupa juga terlihat di kawasan Pura Dalem, Desa Adat Pakraman Buleleng. Keramaian umat untuk memohon keselamatan dan kerahayuan di hari Pagerwesi ini sangat terasa. Bahkan, karena areal pura tidak menampung, sehingga persembahyangan dilakukan dengan bergiliran.
Tidak jauh di sebelah utara Pura Dalem suasana ramai juga terlihat saat persembahyangan Pagerwesi. Rombongan umat dengan mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi ramai sejak pukul 05.00 Wita. Umat ini membawa banten punjung yang dipersembahkan kepada leluhur mereka yang memang belum diupacarai ngaben. Punjung ini berisi olahan daging, nasi, minuman, hingga jajanan bali. Bahkan, uniknya lagi umat menambah makanan kesukaan leluhur mereka pada setiap banten punjung yang dihaturkan.
Saat melaksanakan persembahyangan umumnya dilakukan oleh masing-masing umat. Namun kalau kebetulan berasal dari keluarga besar, maka persembahyangan di setra ini dipimpin oleh orang yang dituakan di keluarga besar tersebut. Tidak berselang lama, persembahyangan usai, tetapi umat belum beranjak dari kuburan. Justru mereka maish bertahan sambil bersilaturahmi dengan keluarga mareka. Jalinan silaturahmi itu pun semakin terasa ketika umat bersama-sama menggelar pesta kecil di sekitar liang kuburan leluhur mereka. Semua sarana banten punjung yang dipersembahkan itu disantap bersama-sama.
Salah seorang warga Ketut Eni asal Kelurahan Paket Agung usai persembahyangan menuturkan, sembahyang ke setra untuk menghaturkan baten punjung sudah berlangsung sejak lama. Dia sendiri tidak mengetahui siapa yang pertamakali melaksanakan persembahyangan setiap Pagerwesi atau Galungan dan Kuningan ke setra.
Dari penuturan leluhurnya menyebut kalau ngaturang punjung ke setra kalau masih ada kerabatnya yang belum di-aben atau bisa disebut dengan istilah seseorang maish memiliki tetaneman. Makna persembahyangan ini menurut Eni tidak lain sebagai bentuk rasa bakti dan memohon tuntunan kepada leluhurnya, sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat menjalani kehidupan dengan damai.
Selain itu, dia memaknai sembahyang di setra ini adalah wujud merayakan hari raya dengan penuh suka cita. Ini ditunjukkan di mana sarana banten punjung yang telah dihaturkan itu tidak seluruhnya dibawa pulang, melainkan dinikmati bersama dengan penuh suka cita dengan semua anggota keluarga.
“Doanya mohon kerahayuan dan berharap dituntut agar anak cucu yang ditinggakan keluarga kami diberikan kerahayuan dalam menjalani kehidupan. Ini penghormatan sekaligus perayaan hari raya bersama dengan suka cita. Kalau makan bersama sebagai bentuk bakti kepada leluhur kendati belum di-aben ya kami yang ditinggalkan ini tidak sungkan menikmati lungsuran punjung,” katanya.
Senada diungkapkan salah seorang keluarga pejuang, Luh Putu Arsini. Dia sengaja mengajak keluarganya untuk bersembahyang Pagerwesi ke Taman Makam Pahlawan Surastana, Singaraja. Arsini mengaku persembahyangan ke tamam makam pahlawan itu karena keyakinannya memohon kerahayuan dan tuntunan dari leluhurnya yang telah gugur sebagai pejuang veteran.
Dia mengaku setiap hari raya besar Hindu tidak saja Pagerwesi, tetapi Galungan, Kuningan, dan bahkan hari besar nasional seperti 17 Agustus 1945 atau hari Pahlawan 10 November, dirinya rutin menghaturkan punjung atau penek untuk lelehurnya. “Harus dapat ke sini kalau tidak ada perasaan tidak enak dan seolah-olah dipangil oleh leluhur. Kalau misalkan tidak bisa, ya harus ngayat dari sanggah merajan di rumah. Doanaya para leluhur kami tetap menuntun anak cucunya untuk menjalani kehidupan,” tegasnya. (mudiarta/balipost)