Oleh I Gusti Ketut Widana
Setiap manusia memiliki kebutuhan yang wajib dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan itu menjadi landasan motivasi setiap perilaku manusia. Menurut teori Maslow, disebut juga teori motivasi, ada lima tingkatan (hierarkhi) kebutuhan manusia. Pertama, Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs), berupa asupan gizi dan hasrat biologis, seperti makan-minum, istrahat (tidur), termasuk seks.
Tujuan dasarnya bertahan hidup (survival) dan melanjutkan keturunan. Kedua, Kebutuhan Rasa Aman (Safety/Security Needs), meliputi keamanan dari bahaya fisik (kekerasan, kriminalitas) dan emosional (tekanan psikhis), seperti ujaran kebencian, penghinaan, teror mental, dll. Intinya, bagaimana bisa menjalani dan menikmati hidup dengan aman, nyaman, tentram, dan jauh dari berbagai bentuk gangguan atau ancaman.
Ketiga, Kebutuhan Sosial (Social Needs) yaitu penerimaan dalam kelompok (in group), baik berupa perhatian, simpati dan empati, termasuk merasa dibutuhkan orang lain, mendapat kasih sayang dan atau dicintai. Keempat, Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs), yang dilandasi keinginan untuk memenuhi ego dan meraih prestise. Misalnya kebutuhan akan status (pendidikan, pekerjaan, sosial, ekonomi), pengakuan dan penghargaan atas prestasi, reputasi, terangkatnya harkat, derajat dan martabat diri dan keluarga. Akhirnya, puncak tertinggi pemenuhan kebutuhan manusia adalah Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), dalam bentuk hasrat mengoptimalisasi potensi diri demi sebuah eksistensi bertendensi narsistik. Semacam perasaan yang menganggap diri lebih baik/mampu, bergengsi, dikagumi/dibanggakan, guna membangun citra diri sebagai sosok the have.
Adapun bentuk aktualisasi diri umat Hindu yang belakangan ngetrend adalah menyeruaknya fenomena ngotonin hewan dan kremasi ala manusia. Otonan itu sendiri sebenarnya bagian dari upacara manusa yadnya. Jadi, hanya untuk manusia dalam kaitan peringatan hari kelahiran berdasarkan perhitungan wewaran (sapta wara – panca wara) dan wuku, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali. Sedangkan hewan, meski bisa dicatat saat kelahirannya sudah ada hari khusus untuk memperingatinya yaitu saat Saniscara Kliwon wuku Uye melalui ritual Tumpek Kandang. Itupun umumnya terhadap hewan peliharaan (sapi, babi) yang telah membantu kerja produktif manusia (petani). Namun kini terhadap hewan kesayangan (anjing, kucing, dll) juga dilakukan.
Perlakuannya pun begitu spesial (berlebihan) ala ngotonin manusia, seperti didandanin (pakai kamen, saput, destar), lengkap dengan upakara-bebanten, meski secara tekstual belum dijumpai sumber rujukannya. Tak ada larangan memang, karena itu bagian dari motif aktualisasi diri. Hanya saja, sedikit apriori, jangan-jangan ngotonin diri atau anggota keluarga malah lupa atau tidak dilakukan, lantaran sudah kepincut gaya ulang tahun modern. Menunjukkan rasa sayang kepada sarwa prani (makhluk hidup) khususnya hewan memang wajib hukumnya, tetapi tidak dalam arti over meaning — atas makna Tumpek Kandang itu sendiri.
Fenomena teranyar, lantaran begitu cinta kasihnya, ketika hewan/binatang kesayangannya mati, diperlakukan juga seperti manusia meninggal (seda) yaitu dikremasi ala ngaben sawa prateka. Lalu, karena tertuju pada hewan, bisa jadi disebut sato prateka, cuma tidak termasuk bagian dari panca yadnya? Khawatirnya, karena ingin meniru rangkaian upacara pitra yadnya lengkap, nantinya dilanjutkan dengan mamukur (penyucian sang jiwa/roh) hewan tersebut dan kemudian ngalinggihang. Pertanyaannya, dimana disthanakan, atau hendak membangun palinggih khusus lagi di pelataran rumah?
Lebih jauh lagi, sebagaimana umat Hindu (Bali) meyakini reinkarnasi, apakah sang roh hewan tersebut akan numadi/numitis, yang dalam perhitungan “Ingkel” memang memungkinkan meningkat status kemakhlukannya — menjadi wong (manusia). Namun, dijelaskan bahwa hal itu hanya bagi hewan yang digunakan dalam ritual yadnya, seperti macaru, tawur, dan sejenisnya. (Manusmrti, V. 40 ). Begitulah, semakin bertambah saja bermunculan fenomena absurd di kalangan umat Hindu (Bali) yang sebenarnya bisa saja disebut aneh bin soleh plus nyeleneh lantaran tidak ada rujukan sastranya. Kecuali hanya sebagai bentuk ritual aktuliasasi demi eksistensi diri dan gengsi atau bahkan mencari sensasi. Sudah sepatutnysa fenomena seperti ini dicermati agar tidak semakin menjadi-jadi.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar