I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Bali salah satu pulau di wilayah negara kesatuan republik Indonesi yang mayoritas penduduknya beragama Hindu menjiwai berbagai tradisi menumbuhkembangkan berbagai budaya, berakar dari upacara yadnya yang dilaksanakan secara turun-temurun berdasarkan kitab suci Weda dikejawantahkan melalui konsep Tri Kona (Upeti, Stiti dan Pralina) dalam menata kehidupan dan menjaga alam semesta.

Weda mengajarkan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan berdasarkan yadnya, dengan tiga kerangka dasar diibaratkan sebuah telur, bagian luar mewakili aspek upacara (ritual), putih telurnya aspek etika (susila), dan
kuning telurnya aspek filsafat (tattwa).

Umat Hindu dalam mengamalkan ajaran agama lebih menonjolkan pelaksanaan ritual berupa yadnya dalam wujud persembahan, entah upacara yang dilaksanakan tergolong kecil (nista), menengah (madya), dan utama. Melakukan upacara yadnya merupakan langkah yang diyakini amat penting, karena yadnya adalah salah satu
pemiliharaan hidup di dunia serta memutar perekonomian masyarakat (Cakra Yadnya) yang unsurnya terdiri dari panca yadnya (Dewa yadnya, Pitra yadnya, Manusia yadnya, Bhuta yadnya dan Rsi yadnya) sepanjang dijalankan oleh umat manusia secara terus menerus sesuai dengan kerangka dasar pelaksanaan yadnya.

Pelaksanaan berbagai bentuk yadnya oleh umat Hindu
membina pertumbuhan jiwa yang selaras dengan
ajaran agama serta menyampaikan rasa syukur atas anugerah Tuhan yang telah menciptakan alam semesta.
Dalam kitab Bhagawadgita III.9 menyatakan setiap melakukan perkerjaan hendaklah dilakukan dengan yadnya.

Baca juga:  Pekerja Migran dan Agenda 2030

Setiap pelaksanaan yadnya dikembangkan sikap yang paling sederhana dalam kehidupan yaitu cinta kasih dan pengorbanan. Setiap orang memproduki sampah baik berupa pikiran, ucapan Perayaan hari-hari besar dan upacara keagamaan lainnya merupakan suatu bentuk yadnya selalu diperingati dan dirayakan oleh mereka yang memuliakannya mengingatkan umat secara sadar mengamalkan ajaran agama dengan pembobotan pada upacara agama (ritual).

Cakra Yadnya merupakan ucapan rasa syukur serta menjadi penggerak ekonomi karena membutuhkan berbagai sarana upakara seperti janur, daun, bunga, buah-buahan, dan sarana lainnya merupakan aktivitas beragama yang mencerminkan dua sisi kemampuan umat dalam memahami nilai-nilai spiritual dan moral (perilaku).

Setiap orang memproduki sampah baik berupa pikiran, ucapan, maupun perbuatan, (Bhagawadgita III.5), untuk sesaat tidak seorang pun mampu untuk tidak berbuat dan tidak berdaya oleh hukum alam yang menghasilkan sampah. Sampah pikiran misalnya, berupa kesesatan pandangan dan pendapat dapat dibersihkan dengan debat dan diskusi.

Sampah ucapan, berupa dusta dan bohong dapat dibersihkan dengan kesetiaan dan kejujuran. Sampah perbuatan, berupa salah dan dosa dapat dibersihkan dengan pengampunan melalui kebenaran dan kebaikan menjadi akses para pelaku dan pelaksana upacara berupa sampah upakara.

Baca juga:  ”Blue Carbon Ecosystem” Peluang Bisnis Berkelanjutan

Sampah upacara yadnya dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu sisi berkah dan musibah dari intensitas dan keberagamaan pelaksanaan upacara umat Hindu. Sisi berkah, sampah itu berkah karena menandai intensitas kesadaran spiritual dalam melaksanakan kegiatan keagamaan semakin meningkat serta mendorong implementasi Cakra yadnya dalam memutar perekonomian masyarakat.

Sisi musibah, bila kesadaran keagamaan terimplementasi dalam pelaksanaan upacara tidak disertai kesadaran lingkungan sehingga sampah upacara yadnya menjadi musibah, entah malapetaka moral ataupun bencana alam. Sampah dan musibah begitu dekat, bahkan sampah itu suatu bentuk musibah, paling tidak sampah menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran, bahkan ketakutan akan terjadi malapetaka moral, bencana alam dan kerusakan lingkungan akibat degradasi moral.

Malapetaka moral ini lah musibah utama dan pertama yang diderita manusia sehingga sampah menjadi masalah. Dikatakan musibah pertama karena moral menjadi sumber sekaligus penilaian tindakan, perbuatan, dan perilaku sosial sehingga ketertiban dan
keteraturan sosial bermula dari kekuatan dan kematangan moral.

Tuntunan Tri Kaya Parisudha memang menjadi kebutuhan dalam membangun moral termasuk intelektual, emosional, dan spiritual. Untuk menyikapi dan mengungkapnya membutuhkan kesadaran-sundaram, kemampuan memahami dan mengapresiasi keindahan dalam dunia-kehidupan dengan menjaga kebersihan lingkungan dengan memilah dan memilih sampah upakara yadnya berasal dari banyak jenis dan tempat berlangsungnya melalui pola Recykle (daur ulang) baik secara manual maupun melalui teknologi sehingga tindakan memohon anugerah untuk memperoleh karunia bagi kemurnian alam dan kesucian manusia menggunakan upakara yadnya tidak menyisakan masalah sampah menjadi musibah dalam memaknai falsafah Tri Hita Karana dalam membangun kesadaran bahwa manusia, bukan hanya memproduksi sampah, bahkan manusia menjadi sampah, bila mengabaikan dimensi moralnya.

Baca juga:  Hadapi Era Milenial, Nyastra Wujud Kesadaran Pemahaman Agama

Untuk meningkatkan kesadaran moral, relegiusitas dan kesadaran sundaram diperlukan dukungan dari lembaga terkait, tokoh agama (pandita dan pinandita) dan pemuka adat secara terus menerus memberikan pemahaman kepada masyarakat sedarma pentingnya keseimbangan pengetahuan tentang kerangka dasar pelaksanaan yadnya, terimplementasi dalam falsafah Tri Kaya Parisuda pada kehidupan sehari-hari untuk mendukung Sad Kerti yang telah dicanangkan dalam menjaga kelestarian budaya dan kesucian alam Bali.

Penulis, Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Prngetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *