Ilustrasi. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tingginya tekanan hidup menjadikan tingkat bunuh diri di Bali tertinggi di Indonesia. Ironisnya realita ini belum membuat para pihak terkait terutama pemerintah untuk bergerak. Muncul penilaian pemerintahan daerah di Bali terkesan tidak menganggap hal ini sebagai hal yang serius.

Padahal, tekanan hidup makin tinggi, akibat kemajuan ekonomi pariwisata lebih banyak dinikmati bukan oleh krama Bali. Pemimpin Bali yang terpilih di Pilkada November nanti diharapkan berani menyelamatkan Bali.

Demikian disampaikan Pengamat Sosial, dr. Wayan Sayoga di Denpasar, Minggu (7/7). Menurut Sayoga, kondisi Bali saat ini dipenuhi kontradiksi. Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, namun ada yang mengalami kemiskinan ekstrem.

“Seiring berlalunya waktu, terasa tekanan hidup di Bali menjadi semakin berat. Biaya hidup semakin tinggi akibat kenaikan harga khususnya mengenai berbagai kebutuhan pokok sehari-hari. Selain karena persoalan tersebut, orang Bali juga menanggung beban yang tidak ringan dalam hal kegiatan sosial keagamaan dan adat,” kata Sayoga

Dalam himpitan kesulitan yang mendera sekian lama maka seseorang bisa patah arang, menyerah, karena merasa tidak ada lagi harapan atau jalan keluar dari kesulitan tersebut. Akumulasi dari puncak penderitaan ini, seseorang pada akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya.

Baca juga:  Bersaksi untuk Prof. Antara, Sudewi Banyak Jawab Tidak Tahu

“Kejadian bunuh diri di Bali seakan seperti penyakit menular, bak virus infeksius yang menakutkan. Perisitiwa bunuh diri bisa beruntun terjadi dalam lokasi yang berbeda-beda. Insidensinya makin hari semakin naik bahkan menempati ranking 1 di Indonesia,” kata Ketua DPD Prajaniti Bali ini.

Meski data tersaji dengan terang benderang tentang tingkat bunuh diri yang tinggi, pemerintah di Bali menurut Sayoga terkesan tidak ambil pusing. Karena itulah ia berharap pemimpin ke depan akan benar-benar mengambil tindakan pencegahan. “Harus diakui bahwa sampai sekarang persoalan bunuh diri belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah. Saya berharap dan berdoa semoga dengan hadirnya pemerintahan baru nanti, persoalan kemiskinan, kesehatan mental dan bunuh diri bisa ditangani dengan lebih serius,” katanya.

Selain tingkat bunuh diri yang tinggi, Bali juga dibelit banyak persoalan. Dua persoalan yang paling menyita perhatian adalah soal sampah dan kemacetan. Sayoga mengatakan, problematika sampah, dan kemacetan yang sudah sangat membuat wajah Bali penat dan sesak. Dan yang juga tidak kalah urgennya adalah persoalan krisis air dan alih fungsi lahan pertanian hingga ribuan hektar terjadi setiap tahun.

Baca juga:  Jalan Putus Tergerus Longsor, Warga Malet Tengah Buka Akses Baru

Menurut Sayoga kepemimpinan Bali ke depan dari wali kota, para bupati dan Gubernur Bali yang akan terpilih pada Pilkada 2024 ini, haruslah mereka yang memiliki visi jauh ke depan dan berani melakukan terobosan kreatif demi menyelamatkan Bali. “Kita harapkan mereka yang memiliki kapasitas paspasan dan bernyali kecil, dengan segala hormat sebaiknya urungkan niat Anda untuk mencalonkan diri. Problematika dan tekanan terhadap Bali sangat berat, oleh karena itu dibutuhkan energi besar dan orang yang siap sedia “mempuniakan” hidupnya untuk Bali,” tegas Sayoga.

Sayoga menekankan seorang pemimpin hendaknya dia yang sudah terbebas dari beban belenggu istri, anak, menantu, kelompok ataupun tetek bengek lainnya. “Dia mesti memiliki jiwa yang merdeka sehingga bisa berbaur, dan memahami kondisi objektif masyarakat, namun pada saat yang sama dia siap berjalan dan berdiri di atas kakinya sendiri dalam membuat keputusan penting tanpa tagu,” ujarnya.

Baca juga:  Sempat Jatuh, WN Belanda Ditemukan Meninggal

Bali, dalam pandangan Sayoga, sangat mengharapkan agar para pemimpin baru di Bali berani bersuara, tidak tunduk, manut dan pasrah saja menerima keinginan pemerintah pusat dalam mengembangkan sesuatu di Bali. Para pemimpin dari Bali baik yang di ekskutif maupun legislatif khususnya yang memiliki posisi di pusat  harus lebih berani bersuara dan berani berkata tidak pada pihak Jakarta bilamana ada rencana pembangunan yang tidak berpihak pada budaya, dan kepentingan rakyat Bali.

Pemerintah pusat sepatutnya memahami kondisi Bali sehingga mampu membangun sesuatu yang tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan rakyat Bali. Hal yang tidak kalah penting adalah seorang pemimpin mesti terlibat secara aktif mengedukasi dan mencerahkan warganya perihal informasi dan pengetahuan agar tumbuh kesadaran baru bagi tiap warga untuk memikul tanggung jawab bersama dalam memperbaiki kondisi Bali. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN