DENPASAR, BALIPOST.com – Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-46 Tahun 2024 sudah berakhir. Secara umum di mata masyarakat berjalan sukses, namun di sisi lain seniman PKB kali ini masih banyak compangnya gara-gara turunnya dana PKB kali ini. Seniman mengatakan mereka hanya dipuji, namun dipinggirkan pada PKB kali ini.
Seniman asal Kesiman, Kadek Wahyudita pada Dialog Merah Putih Bali Era Baru di Warung Bali Coffee Jl. Vetetan 63 Denpasar, Selasa (16/7) mengakui sebagai sebuah pesta, PKB tahun ini tak sesumringah tahun-tahun sebelumnya. Namun, secara umum para seniman tetap tampil secara berkualitas. Bahkan seniman bangga karyanya diuji di PKB.
Kata dia, PKB berjalan sukses, namun tetap ada catatan perbaikan ke depan. Seperti padatnya penggunaan panggung Ardha Candra dengan penonton mencapai ribuan orang, sedangkan sebelumnya sebagian di ISI Denpasar.
Pada PKB sebelumnya, lomba gong kebyar ditampilkan satu paket satu kabupaten masing-masing untuk gong kebyar anak-anak, wanita dan gong kebyar dewasa. Tahun ini diubah agar pas disebut mabarung antar kabupaten. Hanya saja tak pas ditampilkan tiga sekaa sekali pentas.
Garapan gong kebyar menurutnya secara umum baik namun masih ada yang belum matang sudah tampil akibat kurangnya persiapan. Termasuk penampilan sendratari pembukaan dan penutupan kurang greget karena datar-datar saja.
Dia banyak mendapat masukan kondisi panggung dan venew pementasan di Taman Budaya sudah berumur 46 tahun. Perlu peremajaan dari segi keamanan dan tata bangunannya. Dia sangat menyayangkan turunya anggaran PKB dari Rp10 miliar menjadi Rp6 miliar membuat banyak pementasan tampil tak secanggih dulu. Banyak dialog hanya memakai alat pengeras suara manual. Garapan seniman ada yang belum matang alias tak sempurna sudah dipentaskan.
Turunnya anggaran ini juga berdampak pada kurangnya kuota live streaming, promosi dan penggunaan IT lainnya, termasuk tata cahaya. Soal anggaran dia ingin DPRD Bali dan Pemprov berdialog dengan seniman. Dia juga mengkritisi lomba Barong Ket saat ini masih jauh dari pakem barong sebagai simbol keagungan dan kemuliaan. Artinya tak harus tampil garang terus.
Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, M.A., budayawan senior juga menyoroti kurangnya dana sangat tak mungkin bisa membuat PKB berwah-wah. Selama ini dia selaku kurator berjuang agar wajah PKB tak beda jauh dengan tahun sebelumnya. Paling tidak, tak lagi dikacaukan oleh protes dari peserta lomba dan parade.
Dia setuju yang namanya PKB dan sudah diperdakan harusnya diikuti dana APBD yang cukup. Bukan sebaliknya malah menurun drastis. Makanya jangan heran para seniman kecewa tampil dengan fasilitas seadanya.Padahal mereka sudah menyiapkan diri sejak lama.
Dia juga meluruskan lomba Barong Ket banyak menyimpang dari pakem barong. Penari over enerjik demikian juga tabuhnya tak menampilkan tabuh barong aslinya. ‘’Kesannya siapa penari dan penabuh yang kuat, dia yang merasa bagus. Padahal tidak itu yang kita harapkan,’’ tegasnya.
Kedua, pada dialog dolanan anak-anak banyak yang nyerempet ke konten dewasa, padahal itu bukan dunianya anak-anak. Demikian juga berpenampilan drama gong lawas yang mestinya menjadi panutan malah menebar kata-kata kurang elok didengar.
Prof. Dibia dengan lantang memgkritisi penampilan sendratari pembukaan dan penutupan PKB hanya enak didengar bukan enak ditonton. Ini semua karena visinya tak masih seni dan transformasi tatwa, melainkan kepentingaan lain.
Anak Agung Oka Aryana, selaku seniman yang juga Ketua Paguyuban Drama Gong Legendaris mengaku kecewa karena pemerintah mengingkari Perda No. 4 Tahun 2026 soal PKB dan UU No 5/2017 soal Kemajuan Kebudayaan, mestinya pemerintah wajib menyiapkan anggaran yang memadai. Bukan sebaliknya menurunkan anggaran PKB. ‘’Lalu dimana komitmen kita mengembangkan budaya Bali,” tegasnya seraya mengatakan jika benar-benar komit harusnya dilengkapi dengan fasilitas.
Dia mengakui jangan menganggap seniman itu tutup mata dan tutup telinga. Seniman merasakan apresiasi pemerintah kepada seniman sangat minim. Mereka latihan berbulan-bulan dan saat tampil hanya disiapkan fasilitas yang minim. Seniman merasa mereka hanya dipuji namun dipinggirkan. Buktinya banyak seniman yang legawa norok biaya latihan akibat kurangnya anggaran. “Saya tak salahkan panitia, tapi hilangnya komitmen pemerintah. Ibarat nyebit tiying selalu mengorbankan rakyat kecil,” tegasnya.
Dia mengakui tiap tajun dana PKB selalu meningkat, namun kali ini terbalik. Justru di kab/kota anggaran PKB naik hingga 50 persen. Untuk itu dia mengajak seniman dan masyarakat jangan lagi koh ngomong soal kekurangan PKB, toh demi perbaikan bersama. (Made Sueca/balipost)