DENPASAR, BALIPOST.com – DPRD Bali telah menetapkan Ranperda tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali menjadi Perda dalam Rapat Paripurna, Kamis (22/3). Salah satu poin penting dalam perda ini adalah menjadikan Bahasa Bali sebagai mata kuliah penunjang sesuai dengan bidang studi di perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Pulau Dewata.
Gubernur bahkan diminta melakukan koordinasi dengan para pimpinan perguruan tinggi terkait hal itu. Kalangan perguruan tinggi (PT) di Bali pun menyambut baik ide yang tertuang dalam Perda Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Hanya saja, dalam implementasinya nanti ada kendala yang dihadapi. Yakni, sulit mencari dosen yang bisa mengajar materi tersebut. Utamanya dosen bahasa Bali yang sudah berkualifikasi S-2. “Kalau masuk menjadi mata kuliah penunjang sih tidak terlalu masalah, bisa dimasukkan itu, yang kita akan hadapi itu kan mencari dosen. Di satu sisi dosen itu syaratnya S-2, sekarang berapa ini ada perguruan tinggi. Kita dapat nggak dosen S-2 Bahasa Bali,” ujar Rektor Undhira, Made Nyandra, Jumat (23/3).
Nyandra menambahkan, bisa saja meminta tokoh masyarakat seperti bendesa adat untuk menyampaikan materi terkait istilah-istilah bahasa Bali sesuai bidang studi di perguruan tinggi. Namun, mereka harus memiliki Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).
Sebab, perguruan tinggi juga berhadapan dengan regulasi pendidikan. Yakni, regulasi yang mengharuskan seorang pengajar atau dosen di perguruan tinggi berpendidikan minimal S-2 atau memiliki RPL. “Misalnya bendesa adat tentu kemampuan bahasa Balinya melampaui S-2 barangkali, atau selevel S-3. Itu kan harus ada RPL,” jelasnya.
Menurut Nyandra, konsep dalam Perda sejatinya bagus untuk membangkitkan kebanggaan masyarakat dalam penggunaan bahasa Bali. Mengingat, belum tentu semua masyarakat memahami istilah-istilah dalam bahasa Bali dengan tepat.
Oleh karena itu, mekanisme pelaksanaannya juga harus disiapkan dengan baik agar bisa berjalan dengan baik pula. “Jadi semua harus disesuaikan. Ide yang bagus ini mesti ditindaklanjuti dengan strategi yang bagus juga sehingga pelaksanaannya jadi bagus. Justru cepat menolong untuk memahami dan mengerti bahasa Bali,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Pansus Revisi Perda Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, Nyoman Parta mengatakan, bahasa Bali memang telah disepakati menjadi mata kuliah penunjang di perguruan tinggi. Dalam hal ini, bukan mata kuliah dasar umum (MKDU) seperti rencana sebelumnya.
Mata kuliah penunjang bahasa Bali nantinya dikaitkan dengan jurusan atau bidang studi. Misalnya di jurusan kedokteran, diberikan materi tentang istilah-istilah kesehatan dalam bahasa Bali seperti puruh atau tuju (rematik). “Di bidang pariwisata misalnya, pemangku, pinandita, sulinggih selama ini disebut manager ceremony. Lalu penjor disebut just decoration. Kan tidak tepat, mestinya disebut pemangku atau penjor saja. Penjor itu kan ada maknanya, biar mengerti mahasiswa. Ketika terjun menghadapi tamu kan bagus, karena tamu juga bisa mendapatkan informasi yang benar,” imbuh Politisi PDIP ini.
Menurut Parta, ada banyak pengajar yang dimiliki Bali untuk memberikan mata kuliah tersebut. Tidak hanya dosen di perguruan tinggi itu, tapi juga bisa mengundang ahli ataupun tokoh-tokoh adat seperti bendesa yang memahami istilah-istilah dalam bahasa Bali sebagai dosen luar biasa. “Hanya dua jam seminggu, rasa-rasanya kampus pun menerima. Ketika orang banyak tahu bahasa Bali, semakin cepat budaya Bali dikenal dan semakin mudah mereka berinteraksi. Ini tujuan membawa bahasa Bali ke kampus,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha mengatakan, perlu ada konsultasi lebih lanjut dengan Ditjen Dikti mengenai mata kuliah penunjang Bahasa Bali di perguruan tinggi. Disamping menyangkut kewenangan, dalam PP 57 Tahun 2014, pembinaan bahasa juga hanya diatur sampai di sekolah. Termasuk sekolah kesetaraan.
“Jadi, tidak diatur sampai perguruan tinggi. Kalau perda masuk ke perguruan tinggi, tentu harus dikonsultasikan nanti ke Dikti,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)