Gabah yang sedang dikeringkan. Meski memasuki panen raya, harga gabah di Tabanan masih di atas HPP. (BP/san)

TABANAN, BALIPOST.com – Memasuki panen raya, ketersediaan padi tentu melimpah. Namun meski ketersediaan melimpah, petani di Tabanan masih bisa menjual harga gabahnya di atas HPP (Harga Pokok Pemerintah). Walau diakui ada penurunan, namun tidak terlalu signifikan dan tidak merugikan petani.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Tabanan, I Nengah Mawan, Minggu (25/3) mengatakan kondisi harga jual gabah ditingkat petani memang selalu di atas HPP untuk Tabanan meski ketersediaannya melimpah karena panen raya. ‘’Selama ini dari pengalaman-pengalaman sebelumnya harga jual gabah ditingkat petani di Tabanan tidak pernah di bawah HPP. Rata-rata nilai jualnya tinggi meski sedang  memasuki panen raya,’’ ujarnya.

Baca juga:  BRI Dominasi Pasar Valas Indonesia

Harga rata-rata gabah ditingkat petani saat ini menurut Mawan  berada dikisaran Rp 4.800 per kg- Rp 5.000 per kg. Harga ini masih diatas HPP yaitu Rp 3700 per kilogram ditingkat petani.  Dengan harga ini, lanjut Mawan, petani masih merasakan keuntungan. Perhitungan keuntungan digambarkan Mawan dengan penghitungan biaya yang dikeluarkan petani untuk sekali musim tanam yang mencapai Rp 15 juta-Rp 16 juta per hektar.

Baca juga:  Tak Lihat Langsung Pemukulan Anggotanya, Ketua DPRD Bali Ngaku Terkejut

Dalam satu hektar rata-rata petani menghasilkan enam ton gabah dan jika dikalikan dengan harga  jual saat ini maka petani mendapatkan hasil kotor sebanyak Rp 28,8 juta per hektar hingga Rp 30 juta perhektar. Jika dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan, keuntungan bersih petani bisa mencapai kurang lebih Rp 15 juta per hektar. ‘’Produksi gabah di Tabanan meski panen raya pun terserap semua,’’ ujarnya.

Gambaran penghitungan keuntungan tersebut kata Mawan adalah keuntungan yang didapat jika petani menjual produksinya dalam bentuk gabah, bukan dalam bentuk sistem tebasan. Sebab jika petani menjual hasil panen dengan sistim tebasan, apa lagi sebelumnya telah menggunakan pola pertanian intensif, maka pandapatan yang diterima saat panen dipastikan akan merugi.  Kerugian terjadi karena sistem tebasan ini memerlukan keahlian saat menaksir harga yang disesuaikan dengan berapa ancar ancar produksi gabah di sawah. Jika salah tafsir, maka petani akan merugi. “Apabila panen dilakukan dengan cara menjual produksi dalam bentuk gabah atau melakukan panen sendiri, maka masih akan menguntungkan,’’ ujarnya. (wira sanjiwani/balipost)

Baca juga:  RSUD Buleleng Tangani Kasus Bayi Kembar Siam
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *