Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Toksik berasal dari kata dalam bahasa Yunani, “toxikon”. Secara harfiah bermakna racun atau bisa. Dalam konteks psikologis, istilah toksik mulai digunakan di sekitar akhir abad ke-20. Istilah ini dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan atau mendeskripsikan dinamika interpersonal dan pola psikologis yang merugikan atau merusak.

Individu yang dianggap toksik adalah individu yang menunjukkan perilaku atau sifat-sifat yang memiliki dampak merugikan atau merusak terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Individu yang toksik seringkali menguras energi dan kebahagiaan orang di sekitar mereka. Ia sulit untuk menjaga hubungan atau lingkungan yang sehat.

Individu yang toksik bisa berasal dari kalangan dan profesi apa pun. Termasuk kalangan politikus. Maka, tak usah heran pula jika ada politikus toksik. Perilaku manipulatif untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, memprioritaskan kepentingan pribadi maupun kelompok, otoriter, egoistik, serta ketidakjujuran merupakan beberapa ciri dari politikus toksik. Politikus toksik tentu saja merusak kepercayaan publik pada lembaga pemerintah dan sistem demokrasi melalui perilakunya. Hal ini dapat menyebabkan sikap skeptis, kekecewaan, dan penurunan keterlibatan warga dalam kehidupan berpolitik.

Baca juga:  Pilkel Serentak Gelombang II, Ini Tingkat Partisipasi Pemilihnya

Karena politikus toksik umumnya cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok, maka mereka lebih mungkin melakukan praktik-praktik koruptif, nepotisme, atau bentuk-bentuk pelanggaran lainnya, yang melemahkan supremasi hukum dan merugikan secara ekonomi. Pada tataran demokrasi, politikus toksik kerap mengabaikan norma-norma demokrasi. Mereka cenderung merusak institusi-institusi demokrasi, melemahkan kemerdekaan lembaga yudikatif, dan mengancam fondasi demokrasi.

Peran Parpol

Partai politik (parpol) memegang peran penting untuk memastikan bahwa kader-kader terbaik mereka bukan termasuk jenis politikus toksik. Selain mengimplementasikan kode etik partai yang jelas dan tegas yang memprioritaskan integritas dan profesionalisme anggota partai dan pejabat partai terpilih, proses seleksi yang ketat untuk memilih kandidat untuk jabatan publik, termasuk mempertimbangkan latar belakang, penilaian etika, dan evaluasi karakter dan temperamen menjadi hal sangat krusial. Lewat penerapan kode etik partai dan proses selektif ketat anggota partai, diharapkan dapat membantu mengidentifikasi individu-individu dengan riwayat perilaku toksik sehingga mencegah mereka menjadi bagian partai.

Baca juga:  TNI-Polri Jamin Keamanan Pemilih

Memberikan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan kepada anggota partai dan pejabat partai terpilih terkait etika, penyelesaian konflik, keterampilan komunikasi, dan pengembangan kepemimpinan berintegritas adalah ikhtiar lain untuk mencegah hadirnya politikus toksik. Transparansi dan akuntabilitas harus dipraktikkan pula dalam tata kelola partai, pengambilan keputusan, dan manajemen keuangan partai.

Tak kalah pentingnya yaitu memberi teladan kepemimpinan secara nyata dengan menunjukkan kepemimpinan etis dan berintegritas di semua tingkatan partai, mulai dari aktivis akar rumput hingga pemimpin partai dan pejabat terpilih partai. Pemimpin partai harus memberikan contoh positif melalui kata-kata dan tindakan mereka, memperkuat komitmen partai terhadap perilaku etis dan akuntabel.Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, parpol dapat berkontribusi secara signifikan untuk mencegah munculnya perilaku toksik di kalangan politikus mereka.

Kontribusi Pemilih dan Media

Selain parpol, pemilih memainkan peran pula dalam mencegah munculnya politikus-politikus toksik. Pemilih memiliki kekuasaan untuk menerima atau menolak politikus yang disodorkan parpol. Jika para pemilih lebih mengutamakan aspek karisma, partisan, serta keuntungan jangka pendek ketimbang karakter, integritas, dan perilaku etis, maka mereka secara tidak langsung sudah turut berkontribusi terhadap lahirnya para politikus toksik. Begitu pula partisipasi politik yang rendah dan sikap apatis pemilih dapat ikut memperbesar peluang bagi kemunculan para politikus toksik.

Baca juga:  Dari Pelaksanaan Pemilu di Bali, Ini Temuan Bawaslu

Di sisi lain, media, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang memainkan penting dalam membentuk opini publik dan membingkai narasi politik, mengemban tanggungjawab dalam turut mencegah hadirnya para politikus toksik. Sensasionalisme, bias, dan disinformasi yang diapungkan lewat media bisa menormalisasi perilaku-perilaku tidak etis para politikus toksik, yang pada gilirannya dapat turut memberi panggung pada mereka.

Pada akhirnya, dengan peran dan tugasnya masing-masing, parpol, pemilih, dan media, dapat berkontribusi secara nyata dalam menciptakan ekosistem politik yang tidak memberi ruang bagi kehadiran para politikus toksik, politikus yang menunjukkan perilaku atau sifat-sifat yang memiliki dampak negatif dan merusak terhadap orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.

Penulis adalah Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *