Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Kasus perjokian bukanlah barang baru di negeri ini. Dalam dunia pendidikan, istilah joki sudah lama ada dan dikenal di sekitar kita. Joki mengacu pada pekerjaan seseorang untuk menggantikan orang lain dengan menghasilkan imbalan biasanya berupa bayaran atas jerih payahnya.
Joki yang paling terkenal adalah joki ujian masuk perguruan tinggi, yang mana joki tersebut pastinya orang yang memiliki kompetensi tinggi atau kepintaran dalam soal-soal ujian, sehingga mampu menawarkan dirinya menjadi penyamar menggantikan seseorang agar mampu meloloskannya pada ujian tersebut. Selain itu, ada juga joki yang memberikan jasa pada penulisan skripsi, tesis, disertasi atau karya ilmiah lainnya seperti artikel jurnal, termasuk yang marak adalah joki tugas perkuliahan.
Kasus joki yang viral di penghujung tahun 2021 adalah Joki Profesor. Joki yang satu ini memiliki tugas signifikan yakni membuatkan artikel jurnal internasional bereputasi yang menjadi persyaratan seorang dosen untuk mencapai gelar kepangkatan prestisius pamuncak. Dalam sebuah artikel yang ditulis seorang guru besar senior di sebuah perguruan tinggi dijelaskan bahwa joki ini berbeda dengan joki pada UMPTN.
Bila joki UMPTN dilakukan oleh para senior yang hebat yang sudah lulus PTN, namun joki profesor ditengarai para dosen yunior yang produktif baik dalam meneliti dan menulis. Ada juga konsultan yang membuka jasa untuk membantu para calon profesor mempercepat proses menjadi profesor (guru besar). Tentu sebagai imbalannya mereka mendapatkan honorarium yang besar, dan hebatnya lagi berani memberikan garansi uang kembali bila artikel tidak terpublikasi.
Kemajuan teknologi yang semua serba cepat, canggih, dan masif membawa pembaruan dalam dunia pendidikan. Teknologi terkini yang merambah dunia pendidikan adalah pemanfaatan AI (Artificial Intelligence).
Sesuai namanya, AI adalah kecerdasan buatan, artinya bahwa mesin atau teknologi mampu menggantikan tugas yang biasa dilakukan oleh manusia, bahkan cenderung lebih cerdas dari kecerdasan manusia biasa. Jenis AI yang sering menjadi alat mempercepat atau jalan pintas membuat tugas akademik seperti ChatGPT, Quillbot, dan Essaybot.
Bila dilihat dari esensinya, baik Joki dan AI memiliki “niat baik” dan kebermanfaatan. Niat baik Joki tersebut bersifat pemberian layanan jasa yang berbau bisnis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Dari kacamata si joki, mereka rela menjadi alat untuk memuluskan tujuan orang yang digantikan untuk meraih bayaran, sedangkan dari perspektif yang dibantu, mereka dapat mempercepat pencapaian tujuan dan sebagai imbalannya mereka wajib membayar atas jasa yang diberikan berdasarkan persetujuan.
Di sisi lain, AI juga memiliki niat baik, yaitu mempercepat proses belajar bila dimanfaatkan dengan baik, misalnya menggunakan ChatGPT untuk menstimulasi ide dalam menulis, atau menemukan konsep tertentu. Dibandingkan dengan membaca buku, kita perlu banyak waktu untuk mencari informasi di halaman tertentu, namun dengan ChatGPT, hanya dengan mengetik topik utama, semua informasi dalam hitungan detik sudah disediakan.
Permasalahannya yang muncul adalah ketika manusia memanfaatkan AI secara tidak baik. Sebagai contoh, ada tugas perkuliahan mahasiswa untuk mengerjakan projek tugas akhir, 100% dikerjakan oleh AI. Dapat dikatakan bahwa AI tak ubahnya seperti joki. Yang membedakan adalah joki dikerjakan oleh manusia dengan tuntutan upah, sedangkan AI menggunakan teknologi yang pastinya lebih efisien dibandingkan menggunakan joki, karena tidak menuntut bayaran.
Dalam kasus di atas, pemanfaatan joki dan AI secara tidak benar keduanya melanggar kejujuran akademik karena menghadirkan kepalsuan dalam pengerjaan tugas yang semestinya original tugas seseorang yang dibebankan kepadanya. Penegakan aturan memang sudah semestinya dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
Saat ini, untuk pemanfaatan AI pada tugas perkuliahan para dosen sudah “dipersenjatai” dengan Turnitin, ZeroGPT, dan lain-lain. Tugas dosen menjadi lebih berat, karena bukan hanya perlu mengecek konten, tetapi harus mengecek keaslian tugas. Jadi, yang lebih penting di sini adalah kesadaran diri untuk selalu mengusahakan integritas akademik.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha