Sejumlah wisatawan mancanegara menyusuri persawahan saat liburan di Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (12/4/2024). (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi akan sangat menguntungkan di sisi lain bisa merusak Bali. Pelaku pariwisata dan kalangan akademisi memberi solusi, yakni perketat penerapan regulasi untuk pembangunan berkelanjutan dan perkuat mental krama Bali dalam menerima kunjungan wisatawan dan mengelola pariwisata.

Ketua Bali Tourism Board (BTB) IB. Agung Partha Adnyana, Selasa (13/8) menanggapi kekhawatiran yang baru-baru ini muncul terkait pariwisata kini semakin merusak Bali dan adanya dampak negatif pariwisata terhadap Bali. Menurutnya penting untuk mempertimbangkan konteks yang lebih luas mengenai efek pariwisata di seluruh dunia.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pariwisata dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, namun juga dapat menyebabkan tantangan sosial dan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.

Dalam konteks Bali, kata dia, jelas bahwa meskipun kedatangan wisatawan telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian lokal, ada kekhawatiran yang semakin meningkat mengenai tekanan pada infrastruktur, erosi budaya, dan kerusakan lingkungan. “Ini adalah kekhawatiran yang sah yang memerlukan respons yang segera dan efektif,” ujarnya.

Peran pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas sangat penting dalam memastikan bahwa pariwisata tetap menjadi kekuatan positif bagi Bali. Penerapan regulasi yang lebih ketat dan pengembangan praktik pariwisata berkelanjutan adalah langkah penting ke arah ini.

Baca juga:  Pilgub Bali Dinilai Penuh "Kecurangan" dan Intimidasi Halus, Ini Bentuknya

“Dengan menegakkan hukum yang ada dan memperkenalkan langkah-langkah baru, kita dapat mengurangi dampak negatif dan memastikan bahwa pariwisata memberikan manfaat bagi masyarakat lokal serta melestarikan warisan budaya Bali yang unik,” ujarnya.

Komunitas akademik memainkan peran kritis dalam proses ini. Pandangan dan peringatan mereka harus dilihat sebagai kontribusi berharga terhadap upaya yang sedang berlangsung untuk menyeimbangkan manfaat pariwisata dengan potensi dampaknya.

Dikatakan, adalah tanggung jawab pemerintah pusat, daerah, kemenlu, imigrasi, aparat penengak hukum dan pemangku kepentingan industri untuk mendengarkan peringatan ini dan bekerja sama untuk mengatasi masalah yang diangkat.

Untuk maju, sangat penting untuk mengembangkan dan menegakkan kebijakan yang tidak hanya mengelola arus wisatawan tetapi juga mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab. “Ini termasuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan penegakan hukum, dan mendidik baik wisatawan maupun penduduk lokal tentang praktik berkelanjutan,” ujarnya.

Dengan cara ini, menurutnya dapat memastikan bahwa Bali tetap menjadi destinasi terkenal dunia yang terus berkembang secara ekonomi sambil melindungi aset budaya dan alamnya.

“Mari kita bekerja sama untuk memastikan bahwa pariwisata di Bali menjadi sumber kesejahteraan, bukan penyebab kemunduran, pariwisata Bali yang sustainable dan juga semakin baik (regenerative tourism),” ucapnya.

Sementara Peneliti dari Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana I Made Sarjana mengatakan, kondisi pariwisata Bali dan Bali secara umum saat ini adalah hasil atau wujud kesiapan masyarakat Bali dalam menerima kunjungan wisatawan. Ia tak setuju jika pariwisata dikambinghitamkan sebagai perusak Bali baik tatanan sosial maupun alamnya. Alasannya,  semua yang berjalan dan terjadi saat ini adalah bentuk atau cara masyarakat merespons masuknya wisatawan.

Baca juga:  Dua Bulan Jalani Pembatasan Karena COVID-19, Pelonggaran Aktivitas Harus Perhatikan Ini

Menurutnya, perlu penyiapan mental masyarakat Bali melalui penguatan budaya Bali dalam menerima kunjungan wisatawan dan mengelola pariwisata. Karena pariwisata adalah alat yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Bali. “Tinggal bagaimana masyarakat menggunakan alat ini agar berdaya guna dan memberi efek positif bagi dirinya dan lingkungannya,” tandas Sarjana yang juga dosen agrowisata dan sosiologi pariwisata Unud ini.

Dalam sosiologi ada istilah FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan) itu yang terjadi di masyarakat. Karena bayangan masyarakat tentang pariwisata adalah menghasilkan keuntungan yang besar.

“Kalau dulu pelaku pariwisata masih sedikit sedangkan sekarang orang berlomba-lomba ingin terjun ke dunia pariwisata, sehingga persaingannya sangat tinggi. Orang yang bersaing mungkin kemampuannya relatif sama dengan pengetahuan dulu. Pandangan orang sekarang bisa dapat uang dari pariwisata sehingga ini yang menyebabkan petani beralih profesi, menjual sawahnya, dan fenomena lainnya,” bebernya.

Baca juga:  Kepulan Asap Dipicu Limpahan Air ke Kawah

Pemahaman atau literasi pariwisata sebagai industri jasa masih minim yang juga menjadi penyebab banyak pihak mencari penghidupan di Bali ingin instant, tanpa menyadari pentingnya konsep pelayanan jasa di pulau pariwisata. “Seperti ada unsur pemaksaan kepada customer yang dilakukan pelaku usaha jasa transportasi,” bebernya.

Kemacetan yang terjadi juga tak lepas dari kesabaran pengendara yang ingin serba cepat. Sehingga rasa tenggang rasa, saling menghormati di jalan raya memudar demi menjadi pemenang dalam persaingan ekonomi.

“Sebenarnya mentalitas kita, warga Bali atau pun teman-teman yang memang mengais rezeki di Bali perlu dikuatkan. Saya pikir bukan pariwisata yang merusak Bali tapi cara kita menghadapi persoalan dan persaingan. Itu yang harus dibenahi dan disadarkan karena bagaimana pun juga, pariwisata harus membuat semua orang nyaman,” tandasnya.

Yang perlu ditanamkan bagaimana semangat masyarakat Bali melestarikan alam dan budayanya yang perlu diingatkan setiap saat. Misalnya kasus pembongkaran tebing adalah bentuk memenangkan persaingan ekonomi.

Investor hanya berpandangan, mendatangkan wisatawan yang banyak dengan menyajikan kemewahan, eksklusivitas pemandangan pantai atau laut yang sangat dekat dari hotel, sehingga pembongkaran tebing pun dilakukan. “Wawasan pembangunan berkelanjutannya perlu diingatkan, harus selaras dengan alam,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN