Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Andaikan penggunaan bade dalam tradisi ngaben itu baru tercipta pada era tahun 2020an, niscaya tinggi bade maksimal tidak akan melebihi tiga meter. Hal ini mengingat saat ini kabel utilitas sering dipasang melintang jalan dengan ketinggian yang rendah, di sekitar tiga meter dari permukaan tanah. Namun kegiatan gelaran upacara adat krama Bali; seperti ngaben, palebon, ataupun mamukur, adalah adat tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Sehingga pemasangan bentangan kabel utilitas yang muncul akibat modernisasi dan teknologi, sudah semestinya menyesuaikan dengan adat tradisi yang telah berlangsung lama di Bali.

Seringkali bade dengan ketinggian hanya sekitar 4-5 meter kesulitan saat melintas, padahal bade sudah menempel di tanah. Terlebih lagi jika ada krama yang mengarak dengan kereta roda. Kondisi dikotomi antara adat tradisi dan modernisasi ini tentu tidak boleh dipertentangkan, namun justru harus dicarikan jalan solusinya. Demikian juga maraknya pembangunan beach club pada banyak pantai di Bali –akibat pertumbuhan industri pariwisata-, acapkali menuai penolakan dari krama setempat; sebagaimana yang terjadi di kawasan Sanur beberapa waktu ini. Hal ini karena adanya peluang timbulnya suasana berisik akibat kegiatan beach club yang sering berlangsung hingga malam hari.

Baca juga:  Kastanisasi Kelompok Ilmu

Hingga saat ini mungkin kawasan Ubud dalam beberapa hal bisa dijadikan rujukan. Meski kawasan Ubud dikenal sebagai wilayah yang banyak dikunjungi wisatawan asing, namun hingga saat ini kawasan tersebut berhasil meredam munculnya kehidupan malam yang hiruk pikuk penuh kebisingan. Dengan menatanya melalui berbagai paruman adat tradisi. Sebuah kota jelas membutuhkan kehadiran jaringan utilitas kota. Pada dasarnya jaringan utilitas kota adalah aneka jenis jaringan yang diperlukan guna mendukung dan memperlancar berbagai kegiatan keseharian warga kotanya. Jaringan utilitas kota tentu saja akan tersebar ke seluruh sudut kota sesuai tingkat urgensi aktivitas warga kotanya.

Jaringan utilitas kota sebagai bagian infrastruktur suatu kota/wilayah pada prinsipnya akan melayani kebutuhan warga akan supply air bersih, pembuangan air hujan, pembuangan limbah rumah tangga, komunikasi warga, dan sumber daya energi (penerangan, listrik, dan/atau gas). Berbagai jaringan ini biasanya diletakkan seiring keberadaan jaringan jalan kota. Bentuk jaringan utilitas kota dapat berwujud kabel, pipa, maupun gorong-gorong. Untuk jaringan kabel dapat diletakkan di atas tanah ataupun ditanam di dalam tanah. Demikian juga dengan gorong-gorong dapat berupa parit yang terbuka maupun tertutup/tersembunyi. Idealnya semua jaringan utilitas diletakkan di dalam tanah sehingga tidak merusak estetika kota.

Baca juga:  Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim

Ketentuan sudah mengatur jarak antar Ruang Sambung Berdiri tiang telekomunikasi paling sedikit 25 meter; sehingga bisa dibayangkan dalam jarak 100 meter akan terdapat 5 (lima) tiang untuk satu operator. Tinggal kita hitung ada berapa operator dalam suatu kawasan. Sementara untuk jarak antar tiang tiang milik PLN adalah sekitar 30 meter hingga 40 meter. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, juga telah mengamanatkan bahwa pemasangan tiang telekomunikasi/internet harus berizin, sebagaimana diatur dalam Pasal 13. Pemasangan tiang jaringan telekomunikasi di kawasan permukiman wajib mengajukan izin pemasangan pada RT dan RW, kelurahan, sampai ke kecamatan atau sesuai Perda setempat.

Baca juga:  Fenomena ”Seminar” Kian Eksis

Harus ada unsur estetika dan keselamatan (safety) bagi warga dalam menata utilitas kota. Tidak cukup dengan pemenuhan kepentingan teknis jaringan infrastruktur utilitas semata. Harus berpanduan pada local wisdom krama Bali sebagai social capital dalam balutan living culture heritage. Nyatanya para leluhur dapat memasang penjor dengan estetis dan tidak semrawut. Jejak sejarah di perdesaan Bali telah mewariskan tindakan konservasi fisik maupun sosial yang bersifat komprehensif. Modernisasi harus selaras dengan adat tradisi. Kita memang cukup cakap dalam bekerja bersama (manyama braya), namun masih lemah dalam melakukan kerja sama (co-operate). Sehingga setiap operator utilitas kota jarang memiliki tiang bersama.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *