Wayan Sayoga. (BP/Istimewa)

Oleh  dr. Wayan Sayoga

Mengikuti perkembangan kasus terakhir berupa kasepekang hingga pengusiran terhadap 2 KK warga di desa Telaga, Busung Biu, Buleleng hingga hidupnya kini terlunta-lunta. Sebagai orang Bali kejadian ini sungguh tidak membuat kita bangga.

Sebaliknya, kejadian ini merupakan tamparan yang sangat memalukan buat Bali. Kejadian ini mempertontonkan dengan gamblang betapa nilai-nilai adat tradisi beserta praktiknya yang sepatutnya selaras dengan prinsip tri hita karana menjadi bak panggang jauh dari api.

Realitas di lapangan jargon indah yang sering kali diucapkan tersebut ternyata hanya omon omon doang. Terlepas dari segala perbedaan atau bahkan barangkali ada kesalahan yang diperbuat warga tersebut, sangsi atau hukuman yang diberikan kepada yang bersangkutan atau kepada siapapun suatu saat yang mengalami nasib serupa, hendaknya sanksi yang dijatuhkan tidak mengingkari roh kemanusiaan dan hendaknya selalu mengedapankan tujuan untuk penyadaran, bukan menghukum. Hanya dengan cara demikian akan tercipta atmosfir kehidupan yang guyub rukun antarsesama warga di Pakraman.

Baca juga:  Mengubah Paradigma Mengajar

Awig awig yang menata dan mengatur kehidupan di pakraman, apabila tidak sejalan lagi dengan semangat zaman hendaknya dengan jujur diakui, lalu kemudian berani mengambil langkah-langkah perbaikan agar awig-awig tersebut dapat memberikan rasa aman sekaligus tanggung jawab, serta dapat menumbuhkan kesadaran  tiap warga untuk menjaga, merawat kelestarian budaya dan keharmonisan di pakraman.

Kita mesti ingat selalu bahwa adat tradisi bahkan agama sepatutnya mampu membangun perspektif baru yang dinamis dan sehat, tidak terbelenggu oleh cara-cara lama yang kaku kolot yang dapat menjauhkan kita dari sifat welas asih, kemanusiaan kepada alam dan sesama. Oleh karena itu adat dan agama membutuhkan cara-cara, pola dan pendekatan baru di dalam menata wilayah pakraman sehingga semangatnya selaras dan dapat berjalan seiring dengan dinamika kehidupan.

Adat tradisi atau agama bagi saya bukanlah semacam hukum dengan harga mati dimana setiap kita harus tunduk pasrah total terhadapnya. Adat dan agama juga membutuhkan tafsir segar, dinamis dan  mencerahkan. Adat tradisi dan agama merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam membangun kehidupan bersama. Ia bisa pula dipandang sebagai sumber pengetahuan atau semacam perahu yang dapat menyeberangkan kita dari satu pulau ke pulau lainnya. Bahkan jika Anda sudah mahir berenang maka alat bantu tersebut dapat diparkir sementara.

Baca juga:  Putus Mata Rantai Penyebaran COVID-19, Desa Adat Jimbaran Terapkan Sanksi

Seberapa pun hebatnya sebuah alat bantu, ia tetaplah alat bantu. Ia bukan diri Anda. Sebagai alat bantu hendaknya dipahami hanya sebatas alat bantu. Ia bukan Dewa atau Tuhan yang bisa mengancam Anda dengan api neraka segala.

Sebagai alat bantu hendaknya tidak membuat hidup Anda dihantui ketakutan, namun sebaliknya dapat membantu dan membuat pandangan hidup kita terang sehingga dapat membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Dengan demikian ia akan berkontribusi positif pada kehidupan sehingga kita terbebas dari kekhawatiran dan ketakutan. Hidup yang bebas dari kekhawatiran dan ketakutan merupakan prasyarat mutlak jika kita ingin sehat, damai dan bahagia.

Baca juga:  Pelaku Pemerkosaan di Lodtunduh Terancam Sanksi Adat

Dalam dinamika zaman yang berubah dan bergerak demikian cepat, kita dituntut agar mampu menempatkan adat dengan segala aturannya sekaligus menerapkannya secara  bijak dan tepat. Untuk kearah tujuan tersebut maka dibutuhkan tenaga atau prajuru yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai sehingga desa adat dijauhkan dari berbagai kepentingan sempit kelompok atau sentimen pribadi yang dapat mengganggu kerukunan krama secara menyeluruh.

Manakala adat tradisi dan agama tidak inklusif, rigid kolot dan sangat “saklek” di dalam praktiknya maka adat dan agama tersebut tidak akan mampu memberikan jalan terang ketika ada persoalan yang muncul. Demikian pula bilamana adat dan agama tidak mampu lagi menyesuaikan diri dalam melintasi zamannya maka kelak tidak tertutup kemungkinan adat dan agama tersebut akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Berbagai catatan sejarah menyebutkan tentang agama agama besar dimasa lalu akhirnya ditinggalkan, dan kini menyisakan beberapa gelintir pengikut saja.

Penulis, Ketua DPD Prajaniti Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *