A.A Ketut Jelantik, M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh A. A Ketut Jelantik, M.Pd.

Kemendikbudristek mengambil kebijakan baru terkait dengan Akreditasi Sekolah/ Madrasah. Dua lembaga penyelenggaraan akreditasi sekolah/ Madrasah yakni BAN-PAUD dan BAN-S/M dilebur menjadi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (BAN-PDM). Ada dua hal yang diharapkan terjadi dengan penggabungan dua lembaga penyelenggara akreditasi ini.

Pertama, akreditasi akan lebih fokus dalam upaya mengakselerasi transformasi Pendidikan yang saat ini tengah dilakukan Kemendikbudristek, serta kedua, dari segi pembiayaan akan lebih efesien mengingat pengelolaan anggaran dilakukan dengan sistem satu pintu. Tulisan ini akan mencoba untuk mengelaborasi peran akreditasi sebagai katalis transformasi pendidikan dikaitkan dengan paradigma baru sistem akreditasi tahun 2024 yang merupakan kombinasi dari pendekatan penilaian berbasis indikator kinerja (perfomance indicator) dengan penilaian yang lebih holistik dan komprehensif.

Perubahan paradigma pelaksanaan akreditasi sesungguhnya telah dimulai tahun 2020 lalu ditandai dengan lahirnya Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP 2020). Sejumlah kalangan menilai, IASP 2020 lebih pro pada pengukuran capaian kinerja (perfomance) satuan Pendidikan ketimbang keterpenuhan administratif (compliance).

Hal ini tentunya sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Digunakannya IASP 2020 sebagai pengganti instrument akreditasi sebelumnya – Perangkat Akreditasi dengan 8 SNP- perlahan mampu mengamputasi berbagai problematika pelaksanaan akreditasi yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.

Baca juga:  Tantangan Pariwisata Bali pada Era Revolusi Industri 4.0

Problematika pelaksanaan akreditasi sekolah/ madrasah sebelum tahun 2020, berkutat pada dua hal yakni mekanisme pelaksanaan akreditasi serta hasil yang diharapkan. Sebagaimana diketahui, paradigma lama pelaksanaan akreditasi sekolah/ madrasah bagi sebagian warga sekolah menganggap bahwa akreditasi hanyalah ritual lima tahunan. Kegiatan akreditasi sekolah/madrasah akhirnya hanya fokus pada upaya-upaya untuk mempertahankan status quo atas predikat akreditasi sekolah yang diperoleh sebelumnya.

Hiruk pikuk kegiatan akreditasi sekolah/madrasah lebih dominan pada aspek seremonial ketimbang aspek substantif. Ketika sekolah didatangi tim asesor maka yang diprioritaskan adalah bagaimana “menyambut” kedatangan asesor dengan sangat meriah. Tak jarang pembukaan visitasi lebih dominan ketimbang proses pengumpulan data dan informasi untuk menentukan kelayakan sekolah. Kegiatan yang bersifat esensial dan substantive semisal bagaimana guru atau kepala sekolah membuktikan dirinya mampu menciptakan iklim belajar yang berpihak dan berdampak peserta didik diabaikan. Jikapun ada, porsinya sangat kecil.

Akibatnya, dokumen atau bukti yang disampaikan sekolah tidak lebih dari tumpukan portofolio tak bermakna, penuh duplikasi bahkan mungkin plagiasi. Kita tentu tidak bisa berharap banyak dari proses akreditasi semacam itu Misi besar yang dibawa oleh para asesor untuk memotret kondisi riil sekolah tentu masih jauh dari harapan.

Instrument akreditasi seharusnya bagian dari jaminan kualitas (quality assurance) atas pelayanan sekolah kepada peserta didik, orang tua atau pihak terkait lainnya. Makanya, instrumen akreditasi bukan saja dapat diimplementasikan dengan mudah (implementable) namun juga sekaligus menjadi instrumen pembeda (discriminating) antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.Sertifikat akreditasi yang diterima sekolah selayaknya menjadi bukti kualitas layanan satu sekolah.

Baca juga:  Pramuka Tetap Menjadi Ekstrakurikuler Wajib di Sekolah

Jika pada IASP 2020 penilaian fokus pada empat komponen yakni Mutu Lulusan, Proses Pembelajaran, Mutu Guru dan Manajemen Sekolah, maka pada instrument akreditasi sekolah tahun 2024 paradigma penilaian merupakan kombinasi antara pendekatan berbasis kinerja dengan penilaian holistik yang lebih komprehensif. Oleh sebab itu fokus penilaian mencakup empat komponen yakni Kinerja Pendidik, Kepemimpinan Kepala sekolah, Iklim Lingkungan Belajar serta Hasil belajar Peserta didik.

Paradigma baru pelaksanaan akreditasi sekolah/ madrasah tahun 2024 diharapkan akan mampu menjadi herbarium pengembangan sikap dan perilaku warga sekolah yang menempatkan capaian kinerja atau performance sebagai sebuah tanggungjawab professional. Pelaksanaan akreditasi tahun 2024 merupakan kombinasi penilaian berbasis capaian indikator kinerja dengan penilaian holistik komprehensif. Fokus penilaian tidak hanya sekadar “ branding, namun yang jauh lebih penting adalah bukti layanan kepada siswa. Dengan kata lain paradigma baru akreditasi tahun 2024 diharapkan menjadi titik tolak menghilangkan fenomena “isomorphic mimicry” yakni sekolah yang bagus dalam tampilan luar, namun keropos atau gagal memberikan layanan kepada peserta didiknya.

Perubahan paradigma yang digagas oleh BAN PDM diharapkan akan mampu mengeliminir berbagai permasalahan. Dengan menjadikan performance atau kinerja sebagai hasil akhir akreditasi maka pihak yang terlibat benar-benar akan menjadikan hal-hal yang substantive sebagai sebuah prioritas. Sekolah akan benar-benar fokus untuk memberikan layanan yang berdampak kepada siswa.

Baca juga:  Metamorfosa Pariwisata Bali

Perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi menjadi satu kesatuan yang utuh. Apapun bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pendidik, proses pembelajaran, manajemen sekolah berlangsung secara sistematis dan berkesinambungan. Asesor akan benar-benar mengukur hal-hal substansial dari sebuah proses penjaminan mutu layanan yang telah dilakukan oleh sekolah. Dengan demikian hasil akreditasi dalam bentuk predikat atau status akan mampu menggambarkan kondisi sekolah yang sesungguhnya sekaligus menjadi daya pembeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Antara pelayanan dengan branding akan linier.

Perkembangan sains dan tehnologi telah berimplikasi pada terjadinya perubahan paradigmatis manusia dalam segala dimensinya. Lanskape kehidupan manusia berubah dengan sangat cepat. Pengusangan berlangsung dramatis dan massive. Hal-hal baru akan dengan sangat cepat digantikan oleh hal yang lebih baru. Ekspektasi orang tua terhadap kualitas pendidikan  makin komplek dan rigid. Mereka bukan saja menuntut lulusan yang memiliki tingkat kognisi yang mumpuni, namun juga mendambakan lulusan yang terampil, mampu membangun jejaring, sekaligus kreatif dan inovatif.

Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Bangli juga Fasilitator Sekolah Penggerak A3 Kemendikbudristek

BAGIKAN