DENPASAR, BALIPOST.com – Arsitektur Bali memerlukan bahan alam, seperti bata dan padas, dalam pembangunannya. Namun, menurut Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Bali, I Wayan Agus Novi Dharmawan, seiring meningkatnya permintaan terhadap green building, arsitektur Bali pun harus mengacu pada prinsip ini.
Dalam artian, bahan-bahan alam yang digunakan pada arsitektur Bali tidak sampai merusak alam. Ia pun berharap penggunaan bahan yang menyerupai bahan alam dan ramah lingkungan bisa makin banyak digunakan.
“Seperti bahan kayu hutan telah diubah ke aluminium yang bertekstur kayu, itu kan sudah salah satu bentuk dari implementasinya dan bahan bahan itu sudah harus melewati SNI (standar nasional Insonesia) dan TKDN (tingkat komponen dalam negeri). Semua ada persyaratan untuk lolos untuk bisa mendapatkan green label,” ujarnya.
Dengan demikian, prinsip green building bisa diterapkan tapi tetap mengadopsi arsitektur lokal Bali. “Jadi tetap wajah lokal dengan teknologi yang baru,” imbuhnya.
Ditambahkan Ketua Asosiasi Himpunan Desain Interior Indonesia, Ni Luh Putu Novie Christianti Adriani, bangunan berkonsep ramah lingkungan sedang menjadi tren saat ini. Dalam pemilihan material pun mengacu pada konsep ini.
Senada disampaikan Mindarto HS dari AER. Sebagai salah satu penyedia produk perlengkapan sanitasi, AER, dikatakannya juga berupaya mengadopsi prinsip green building dalam produksinya. Pemerintah pun ditambahkannya sedang menggodok standar yang lebih bagus sehingga produk ramah lingkungan makin banyak di pasaran.
Untuk mengetahui tren bahan ramah lingkungan ini, dalam waktu dekat juga digelar Home Deco Expo Bali 2024. Direktur Home Deco Expo Bali, Otto William Halim mengatakan pameran ini akan banyak menampilkan bahan bangunan dengan teknologi terbaru termasuk yang ramah terhadap lingkungan.
Bali dipilih sebagai lokasi pameran ini karena melihat resilien bisnis properti di Bali cukup baik. Sebagian besar didukung oleh sektor pariwisata yang tak pernah berhenti. (Citta Maya/balipost)