Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Saat ini ada idiom bahwa Bali identik dengan pariwisata. Kita seakan lupa bahwa industri pariwisata Bali ini pada dasarnya berawal dari eksotiknya kehidupan pertanian dan alam Bali, yang menarik wisatawan datang ke Bali. Keeksotikan alam pertanian Bali tersebar ke penjuru dunia sejak Walter Spies pada 1927 menebarkan lukisan bertema alam pertanian Bali.

Pesona bentang alam Bali beserta eksotika living culture heritage krama Bali mulai mengundang decak kagum wisatawan manca negara yang datang ke Bali. Bertahun-tahun kemudian ribuan bahkan mungkin jutaan wisatawan melahap hidangan wisata Bali dan menciptakan industri pariwisata Bali.

Eksplorasi berkepanjangan terhadap alam dan budaya Bali atas nama pariwisata yang menghasilkan aliran dolar, kemudian berubah menjadi sebuah eksploitasi. Gemerlap pariwisata secara perlahan juga membawa perubahan sosio-kultural dalam masyarakat Bali. Eksotika alam pertanian dan budaya Bali mulai terlihat samar-samar.

Masyarakat Bali yang sebelumnya berjiwa agraris dengan sifat komunal penuh kemitraan, secara perlahan sebagian mulai bergeser menjadi masyarakat jasa yang berciri lebih invidual dan penuh dengan kompetisi. Keguyuban yang terpancar dalam bentuk budaya Balipun mulai samar, bak mata yang mulai rabun melihatnya.

Baca juga:  Mengembalikan Pariwisata Budaya

Harus ada paradigma baru atas industri pariwisata Bali, agar proses pariwisata Bali yang telah berlangsung hampir satu abad tidak sia-sia. Pariwisata pada hakikatnya bukan jati diri Bali. Pariwisata hanyalah bonus sebagai resultante atas keeksotikan alam dan budaya Bali. Local wisdom krama Bali harus menjadi social capital dalam balutan living culture heritage.

Keselarasan Pertanian, Budaya, dan Pariwisata

Budaya pertanian menjadi denyut nadi kehidupan keseharian krama Bali. Hal ini jelas terlihat dalam keseharian kehidupan krama Bali yang sejalan dengan tatanan musim, sebagaimana siklus pertanian. Pertanian Bali sudah menjadi mata pencaharian utama krama Bali jauh sebelum pariwisata menjadi penggerak roda ekonomi Bali.

Segala jenis upakara dalam kehidupan krama Bali mengikuti sistem Candra Permana, selalu dalam bingkai hitungan alam, sejak triwara, panca wara, sapta wara, sasih hingga wuku. Hanya di Bali ada tempat sembahyang di area ladang pertanian, berupa palinggih atau pelangkiran. Tidak ada upakara krama Bali yang mengacu pada kegiatan industri pariwisata.

Baca juga:  Peletakan Batu Pertama Paon Bali, Pemprov Komit Bentengi Alam dan Budaya Bali

Ratusan pura megah telah dibangun krama Bali, murni dari hasil keringat sendiri dari hasil bertani tanpa ada campur tangan dari luar. Industri pariwisata telah mengeksplorasi alam dan budaya, namun dengan tidak menganggap budaya Bali sebagai social capital dalam menarik wisatawan. Industri pariwisata lebih sering menciptakan aktifitas modern non budaya.

Banyak beach club dibangun oleh pelaku industri pariwisata guna memenuhi hasrat wisatawan yang ingin menikmati pantai sore hari dengan alunan musiknya –yang kadang berisik mengganggu lingkungan-. Mengapa untuk menikmati matahari sore para pelaku pariwisata tidak membuat sajian tari kecak di banyak pantai, sebagaimana sudah dirintis di Uluwatu, Badung.

Mengapa tidak dilakukan jelajah wisata/trekking saat pagi hari secara kolosal oleh pelaku pariwisata di berbagai kawasan pertanian yang ada di wilayah Banjar Adat. Sebagaimana sudah dirintis di wilayah Ubud maupun Tegallalang. Eksotika alam dan budaya Bali merupakan social capital yang genuine milik krama Bali.

Baca juga:  Literasi Budaya Merawat Generasi

Sementara saat siang hari di berbagai Banjar Adat juga dapat dilakukan sejenis cooking class sebagai upaya pengenalan budaya kuliner Bali. Serta bisa dilengkapi dengan aneka majejahitan dalam menyiapkan sarana upakara bagi krama Bali. Potensi budaya dalam bidang kuliner ataupun upakara masih banyak yang bisa diekplorasi bagi wisatawan.

Eksplorasi industri pariwisata atas eksotika alam dan budaya Bali masih banyak yang dapat dilakukan tanpa harus merusak alam dan budaya Bali itu sendiri. Mata kita seakan rabun dalam melihat potensi budaya Bali yang luar biasa. Living culture heritage krama Bali yang mengandung local wisdom harus menjadi social capital dalam industri pariwisata Bali.

Penulis Arsitek, Pemerhati Tata Ruang dan Budaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *