Seorang pedagang menjajakan layang-layang perahu pada pengunjung Pantai Double Six, Badung. Pemerintah terus berupaya melakukan pemerataan kunjungan pariwisata, agar tidak menumpuk di wilayah Bali bagian selatan. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Karut marutnya pengelolaan pariwisata di Bali kini menjadi sorotan Pamerintah Pusat. Pemerintah akan melakukan audit untuk merombak sektor pariwisata di Bali. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata, melestarikan budaya, dan menciptakan lapangan pekerjaan lokal.

Sebab, pascapandemi Covid-19 pariwisata Bali lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Sehingga, kehadiran wisatawan yang tidak berkualitas ini telah menimbulkan sejumlah masalah, seperti kejahatan, pembangunan berlebihan, dan persaingan dalam mendapatkan pekerjaan.

Pengamat Pariwisata Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S., M.Par., setuju jika tata kelola sektor pariwisata Bali diaudit untuk diperbaiki. Pihaknya mengakui bahwa akhir-akhir ini orang asing yang tinggal di Bali sering memunculkan masalah seperti keterlibatan dalam geng narkoba, melakukan bisnis illegal, pelanggaran etika, serta kriminalitas lainnya.

Tindakan mereka ini perlu diatensi dan segera diurai sumber permasalahannya oleh stakeholder pariwisata Bali. Sebab, fenomena ini tidak hanya merusak citra Bali sebagai destinasi wisata yang aman, nyaman, dan menarik untuk dikunjungi, tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat lokal.

Kondisi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum yang perlu segera ditangani oleh berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, beberapa poin kritis yang perlu diperhatikan, antara lain peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.

Otoritas setempat perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas wisatawan asing yang tinggal dalam jangka waktu lama di Bali. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran seperti narkotika dan bisnis ilegal harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tindakan ini tidak hanya berfungsi sebagai pencegahan tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa Bali tidak toleran terhadap kegiatan kriminal.

Baca juga:  Pemkab Bangli Tunda Rekrutmen CPNS, Ini Alasannya

Poin kritis berikutnya adalah peningkatan kerjasama Internasional. Mengingat bahwa pelaku kejahatan sering kali memiliki jaringan internasional, kerjasama dengan negara asal para pelaku serta organisasi internasional sangat penting. Hal ini bisa mencakup pertukaran informasi intelijen, ekstradisi pelaku, dan kampanye bersama untuk meningkatkan kesadaran akan dampak dari kejahatan tersebut.

Peningkatan edukasi dan kampanye awareness (kesadaran) juga penting dilakukan. Pemerintah dan stakeholder pariwisata terkait bisa bekerja sama untuk mengedukasi masyarakat tentang cara melaporkan aktivitas mencurigakan dan pentingnya menjaga keamanan komunitas.

Pemeriksaan ketat terhadap izin tinggal dan bisnis orang asing juga sangat penting dilakukan. Otoritas imigrasi harus melakukan pemeriksaan yang lebih ketat terhadap izin tinggal dan izin usaha yang diberikan kepada wisatawan asing. Mereka yang ditemukan melanggar hukum atau menyalahgunakan izin mereka harus segera ditindak dan dideportasi jika diperlukan.

Poin berikutnya adalah membangun sistem pengawasan komunitas. Mengembangkan sistem pengawasan berbasis komunitas dapat membantu dalam mendeteksi kegiatan ilegal sejak dini. Komunitas lokal, termasuk pecalang dan kelompok masyarakat lainnya, bisa diberdayakan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam memantau dan melaporkan kegiatan mencurigakan.

“Stakeholder pariwisata Bali perlu bekerja sama untuk menegakkan langkah-langkah ini guna memastikan bahwa Bali tetap menjadi tujuan wisata yang aman, nyaman, dan dihormati, serta melindungi kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan pendekatan yang terkoordinasi dan tegas, berbagai permasalahan orang asing ini bisa diatasi dan mencegah dampak negatif lebih lanjut terhadap industri pariwisata dan masyarakat Bali,” tegas Suniastha, Selasa (3/9).

Baca juga:  Diduga Mabuk, Perempuan AS Ngamuk di Vila

Sekretaris Prajaniti Provins Bali, I Made Dwija Suastana, S.H.,M.H., mengutarakan pariwisata di Bali adalah bonus dari tatanan apik leluhur Bali dalam menjaga alam, seni budaya Bali sejak ribuan tahun lalu. Sehingga yang perlu di audit adalah cara pemerintah baik pusat dan daerah dalam memperlakukan pariwisata budaya Bali.

Praktisi pariwisata yang juga seorang akademisi ini menambahkan pariwisata di Bali berkembang sudah lebih dari 3 dasa warsa dengan melewati berbagai dinamika. Pun, tambahnya, aturan-aturan yang kepariwisataan sudah banyak bertebaran menghiasi janji-janji manis pemerintah pusat terhadap pariwisata Bali.

Namun ternyata semua itu tidak menyelesaikan kesemrawutan yang terjadi. Intinya, menurut Dwija, Pemerintah pusat agar memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah Bali untuk mengelola pariwisata budaya-nya dengan memberlakukan otonomi khusus pariwisata budaya untuk Bali.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam ungguhan videonya di akun instagramnya, mengungkapkan bahwa sekitar 200.000 orang asing saat ini tinggal di Bali. Turis asing ini membawa masalah di Bali, seperti isu kriminalitas, narkotika, geng, kekeurangan lapangan pekerjaan bagi warga lokal, dan masalah lainnya. “Kami dapat mendeportasi mereka dari Indonesia, dari Bali, dan kami tidak ingin mereka memasuki Bali lagi,” tulis Luhut.

Baca juga:  Empat Tahun Kepemimpinan Gubernur Koster, Terbitkan 279 Sertifikat KI

Atas dasar tersebut, Luhut mengatakan bahwa pemerintah mengambil keputusan untuk membenahi tata kelola pariwisata di Pulau Dewata. “Kami akan melakukan audit dan penataan dari mulai pengelolaan sampah dan manajemen limbah, rencana perbaikan infrastruktur, serta menciptakan satu destinasi wisata hijau dengan menerapkan aturan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). Baik energi listrik untuk operasional, maupun kendaraan bermotor yang digunakan di sana.

“Kami juga tidak ingin melihat area persawahan berubah menjadi vila, atau menjadi klub-klub malam. Jangan sampai pekerjaan orang lokal, digantikan oleh wisatawan asing. Tetapi yang paling penting digaris bawahi dari semuanya adalah, kami ingin melihat budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sakral itu, tetap terjaga dan dilestarikan. Karena Bali tanpa budaya dan tradisinya, bukan lagi Bali sebagai ‘paradise island’,” tegasnya.

Luhut mengungkapkan bahwa Pertumbuhan PDB Indonesia yang akan mencapai 2,5 hingga 3 triliun dolar pada tahun 2030, diprediksi akan meningkatkan jumlah kelas menengah di tanah air. Hal ini tentu secara simultan akan menciptakan wisatawan lokal dan domestik yang juga sangat penting untuk diperhatikan, bukan hanya mendatangkan wisatawan asing saja.

“Saya ingin melihat Bali seperti dulu lagi. Bali yang terkenal bukan hanya karena keindahan panoramanya, tetapi juga budaya dan tradisi yang dijaga oleh warga masyarakatnya. Dengan diselenggarakannya forum International Quality Tourism Conference yang pertama kali ini, saya berharap ada saran dan masukan dari berbagai praktisi pariwisata,” tandasnya. (Ketut Winata/balipost))

BAGIKAN