Salah satu petani kakao di Pulukan, Kecamatan Pekutatan tengah memetik hasil budidaya kakao di kebun. Saat ini harga kakao di tingkat petani melesat jauh dipicu kondisi global komoditi tersebut.  (BP/Dokumen)

NEGARA, BALIPOST.com – Kemarau belakangan ini berdampak pada para petani kebun, termasuk petani kakao. Mereka kesulitan mendapatkan air lantaran hujan sudah lama tidak turun.

Anggota kelompok tani Merta Abadi Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Jembrana, Putu Sudarya, Rabu (4/9) kemarin mengatakan, dampak kemarau dan jarang hujan membuat para petani kesulitan mendapatkan air. Mereka berupaya agar tanaman hidup kembali lagi.

Sudarya yang memiliki lahan seluas 1,5 hektar, tanamannya sempat layu karena kemarau panjang. Sebab, beberapa jenis tanaman kakao membutuhkan banyak air. “Seperti jenis cokelat Sulawesi 01 dan panther. Kalau yang bisa sedikit air seperti jenis MCC 45, masih bisa bertahan,” ujarnya.

Baca juga:  Cuaca Ekstrem di Musim Kemarau Indikasi Dampak Perubahan Iklim

Sudarya mengatakan, untuk mendapatkan air dia harus menggunakan mesin pompa air. Menurutnya, ada program sumur bor 100 meter untuk menjadi sumber air. Namun, upaya itu gagal karena pada kedalaman 40 meter, pekerjaan sudah tidak dilanjutkan.

Mengingat hanya ada sedikit air, akhirnya ia membeli mesin tapi hanya bisa dipakai dan dinyalakan setengah hari. Menurutnya, banyak faktor penyebab kekeringan pada tanaman kakao yaitu kurang disemprot, kurang air, kurang pangkas, dan banyak tunas baru. Meskipun sudah rutin disemprot dua minggu sekali, tanaman tetap layu dan kekeringan

Baca juga:  Ini, 12 Zona Musim di Bali Diperkirakan Alami Musim Hujan Lebih Awal

Tanamannya baru bisa menghasilkan 40 kg per sekali panen. Namun, jika digabungkan dengan anggota kelompok yang jumlahnya 29 orang dan kelompok lainnya, masih bisa untuk diambil buyer.

Saat ini biji kakao seharga Rp40 ribu per kg untuk yang mentah. Sementara untuk yang sudah dijemur dan kering senilai Rp150 ribu per kg. Kalau harganya tidak di atas itu atau masih di bawah itu, tidak masuk APP atau biaya produksi. Pihaknya berharap ke depannya ada solusi untuk mengatasi krisis air bagi para petani terutama di musim kemarau. (Surya Dharma/balipost)

Baca juga:  Tahun 2019, Target Ekspor Kakao Jembrana Sebanyak 300 Ton
BAGIKAN