Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra

Di persidangan Pengadilan Negeri Denpasar 5 September 2024, terdakwa Nyoman Sukena (terdakwa NS) menangis histeris setelah didakwa melanggar pasal 21 (2) a UU RI Nomor: 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Ancaman hukum pasal tersebut penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Bunyi pasal 21 (2) a tersebut adalah: Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Untuk melihat permasalahan ini, penulis akan membahas dari segi hukum pidana. Apakah Terdakwa NS perbuatannya memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan. Dan apakah dia patut dipertanggungjawabkan, sehingga dapat dijatuhi hukuman pidana.

Dalam hal ini penulis akan mengupas teori yang diajarkan oleh Prof. Moeljatno yang mengajarkan bahwa untuk menyatakan terdakwa dapat dipidana maka dia harus mempunyai kesalahan. Tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Baca juga:  Bali Perlu "Backpackers"

Untuk ini kesalahan terdakwa perlu dibuktikan secara bertahap di persidangan. Prof. Moeljatno menyebut tindak pidana itu dengan istilah perbuatan pidana. Untuk membuktikan dakwaan di perseidangan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana mesti dipisahkan.

Dalam pembuktian ini perbuatan terdakwa seharusnya cocok dengan semua unsur pasal yang didakwan. Salah satu unsur saja tidak cocok atau tidak terbukti maka terdakwa akan diputus bebas (vrijspraak).

Kalau perbuatan pidanaya sudah terbukti maka meningkat ke pembuktian pertangungjawaban pidana. Dalam hal ini adalah melihat batin terdakwa. Biasanya dalam pasal dirumusakan dengan kata “dengan sengaja”.

Sikap batin inilah merupakan unsur kesalahan. Jika perbuatan pidananya terbukti tetapi kesalahannya tidak terbukti maka terdakawa akan diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).Unsur perbuatan pidana dalam pasal biasanya disebut dengan “melawan hukum”. Unsur dengan sengaja dan unsur melawan hukum kalau tidak disebut dalam pasal maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak perlu membuktikan dengan alat bukti. Tetapi cukup disebutkan saja.

Baca juga:  PA Tak Mengesahkan Pernikahan Beda Agama

Bagaimana dengan kasus Terdakwa NS. Di samping harus membuktikan perbuatan terdakwa, perlu juga dibuktikan, Apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur “perbuatan melawan hukum”. Arti perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum tertulis (melawan hukum formil), atau bertentangan dengan hukum tidak tertulis (melawan hukum materiil), yaitu bertentangan dengan rasa kepatutan masyarakat.

Kalau kita lihat perbuatan Terdakwa NS memelihara landak jawa (hystrix javanica), tanpa menyakiti, tidak membunuh atau tidak memperdagangkan. Perbuatan itu tidak melanggar unsur kepatuan dalam masyarakat, walaupuan perbuatan memelihara itu bertentangan dengan hukum tertulis (hanya memelihara).

Dengan melihat teori unsur melawan hukum tersebut, maka terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum materiil. Sepatutnya pengambil keputusan akan menilai apakah perbuatan Terdakwa NS terbukti, dan selanjutnya apakah ada kesalahan Terdakwa NS dari sikap batinnya (kesengajaan).

Baca juga:  Sengketa Tapal Batas, Warga Batanyuh Gerudug Pengadilan Negeri

Sebagai pembanding dosen penulis pernah mengatakan, seorang nenek tua mencuri roti karena lapar, tidak patut dihukum, karena rasa kepatutan masyarakat tidak membenarkan menghukum seorang nenek tua mencuri roti karena lapar. Jadi dalam hal ini karena unsur melawan hukum materiil tidak terbukti.

Dalam menerapkan pasal, kita perlu juga mencari subtansi pasal tersebut. Atau apa yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang. Dalam hal ini pembentuk undang-undang menginginkan agar satwa langka tidak punah. Kalau ada orang yang beritikad baik merawat satwa, justru satwa itu tidak akan punah.

Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah hendaknya para penegak hukum tidak sebagai corong undung-undang. Hanya melihat undang-undang dari teknya saja (textbook thinking). Di samping perlu menerapkan teori hukum tersebut di atas, perlu juga pendekatan sosio kultural di samping sosio yuridis.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *