Oleh Agung Kresna
Tahapan kampanye pilkada 2024 akan berlangsung selama 60 hari dari 25 September hingga 23 November 2024.
Akan bertebaran aneka Alat Peraga Kampanye (APK)
di seantero kota/wilayah, jika penataannya tidak
diatur dengan baik sejak dini. KPU Provinsi Bali telah menawarkan ajakan simpatik untuk menciptakan
nuansa pilkada hijau (green election) di Bali. Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar dipilih menjadi ajang pilot project green election Bali.
Dalam hal ini mungkin akan lebih mudah mengaturnya, karena pilkada hanya diikuti oleh beberapa pasang calon kepala daerah. Kondisi ini berbeda dibandingkan
dengan kampanye pemilihan anggota legislatif yang calonnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang.
Kampanye memang memerlukan sarana guna menyampaikan visi dan misi calon kepala daerahnya. Biasanya APK berwujud baliho dan spanduk. Sayangnya APK lebih sering didominasi oleh tampilan foto besar tampang sang calon kepala daerah, dibandingkan visi
dan misi ataupun program yang ditawarkan sang calon.
Kevin Andrew Lynch, seorang urban theorist, yang banyak dianut para pakar perencana kota, dalam bukunya The Image of the City (1960), menyampaikan adanya 5 elemen pembentuk citra kota. Yaitu,
District/kawasan, Edges/batas/tepian, Nodes/titik temu/simpul, Path/jalur, Landmark/penanda kota/tengara.
Kenyataan di lapangan memang menunjukkan bahwa berbagai baliho dan spanduk banyak dipasang pada titik-titik di mana ke lima elemen pembentuk citra kota berada. Karena di lokasi 5 elemen itulah biasanya warga kota sebagai sasaran publikasi baliho dan spanduk berkumpul. Sehingga menjadi lokasi strategis penyebaran informasi.
Jika sarana publikasi tersebut dipasang dengan memperhitungkan estetika wajah kota, maka dapat memperindah tampilan visual citra kota. Sebaliknya jika dipasang secara serampangan, aneka sarana publikasi
itu justru akan menciptakan sampah visual kota; yang pada gilirannya justru akan merusak citra kota. Ada beberapa langkah dapat dilakukan agar tidak timbul sampah visual kota. Pertama, harus diatur secara jelas perizinan dan sanksinya, di mana sarana publikasi itu diizinkan atau dilarang dipasang.
Sehingga elemen pembentuk citra kota benar-benar
dilindungi dari kehadiran sampah visual kota. Dengan
sendirinya akan mendorong terciptanya green election.
Kedua, Pemerintah Daerah harus menyediakan tempat khusus yang memang disiapkan untuk pemasangan baliho, spanduk, poster, ataupun videotron. Penempatan secara khusus ini akan membantu terciptanya estetika
wajah kota, utamanya pada 5 elemen pembentuk citra kota.
Sekaligus mengurangi adanya timbulan sampah visual kota. Ketiga, aneka bentuk pemasangan sarana publikasi yang tidak berizin harus secepatnya diturunkan/dicopot pada kesempatan pertama. Hal ini
untuk menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah memang memiliki komitmen dalam menjaga wajah kota, sekaligus membuat jera pemasang sarana publikasi tidak berizin.
Penegakan hukum harus menjadi kunci dalam menciptakan kondisi green election yang kondusif. Tanpa aturan yang jelas dan rinci dengan disertai upaya penegakan hukum secara tegas, maka semua upaya
menciptakan nuansa green election akan menjadi sia-sia belaka dan sekadar menjadi wacana.
Tidak ada salahnya jika kita mengikuti model kampanye Presiden Joko Widodo dengan cara blusukan. Cara ini jelas merupakan kampanye hijau karena tidak menciptakan timbulan sampah, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dengan warga.
Beliau menyarankan blusukan di 12 titik dalam satu hari, sehingga dalam masa kampanye 60 hari akan terkunjungi 720 titik. Menciptakan green election memang membutuhkan komitmen semua pihak terkait.
Semua langkah harus dilakukan secara simultan dan berkesinambungan. Niscaya green election akan mendorong terciptanya citra kota yang ramah dan menyejukkan bagi seluruh warga penghuni kotanya.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar