Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kekeluargaan seringkali dimulai dari adanya keluarga itu sendiri. Untuk itu memang seringkali dimengerti dari
sisi biologis sehingga ada kaitannya dengan hubungan darah. Hubungan kekeluargaan berarti hubungan
yang ada pertalian darah akan tetapi, terdapat jenis hubungan kekeluargaan yang umum tidak selalu dikaitkan dengan hubungan darah secara langsung melainkan ada suatu bentuk ikatan tertentu dan tersendiri.

Inilah sebenarnya mewarnai dimensi kebudayaan
dimanapun termasuk di Indonesia. Kebudayaan tidak dapat disamaratakan sekalipun satu sama lain ada sisi kesamaannya. Jika dilihat dari sisi perbedaannya selalu ada mengingat keragaman kebudayaan yang ada. Akan
tetapi, dalam kesempatan ini tidak mengarah ke
sana melainkan pada sisi status budaya.

Bila ada suatu bentuk budaya maka sering ada sesuatu
yang menjadi latar belakang mengapa budaya itu ada. Akan tetapi pada kesempatan ini pula tidak mengarah ke sana melainkan bahwa pada tulisan ini digambarkan terdapat suatu jalinan yang erat antar unsur-unsur budaya yang menjadikan budaya itu tumbuh menuju kedewasaannya.

Kedewasaan itu ditandai oleh adanya ketiadaan rasa takut lagi atas kehilangan budaya karena sudah pasti tahu bahwa budayanya itu sudah merupakan sebuah keluhuran. Inilah dasar yang menjadikan dirinya untuk tidak terjebak dalam ketakutan termasuk didalamnya ada kekhawatiran dan kecemasan.

Baca juga:  Gairahkan Peternak, Lapas Tabanan Potong Enam Ekor Babi

Ini ditandai oleh adanya usaha yang tidak berhenti melainkan semakin mampu menemukan sesuatu yang semakin luhur di dalam budayanya itu.

Karena budaya sudah tidak mungkin dikenali jika budaya itu lenyap maka yang terjadi adalah pertama, ketiadaan rasa takut mesti muncul jika memang budayanya itu adiluhung. Kedua, adiluhung berarti keluhuran yang tidak perlu lagi untuk dipertanyakan. Ketiga, dipertanyakan ketika sudah tidak ingat lagi akan keluhurannya apalagi kemuliaan terlebih kesuciannya, dan keempat, kebudayaan yang dijelmakan dalam budaya tidak perlu lagi dicampuri bila sudah lenyap
melainkan dikonstruksikan kembali.

Konstruksi kembali atas budaya hanya mungkin bila terjadi ketulusan dalam hati untuk menemukan apa yang tidak patut untuk dihilangkan begitu saja ataupun
hilang musnah begitu saja. Bila seseorang sudah mampu untuk berbudaya dengan dasar kebenaran tidak lagi untuk bertanya kepada dirinya sendiri untuk apa berbudaya.

Itulah sebagai dasar yang penting dalam menyikapi seluruh kebudayaan yang masih ada. Pada dasarnya seseorang yang berprofesi apapun termasuk dalam bidang politik praktis dengan berbagai jabatan seperti Menteri dan sebagainya bila perlu juga terkena oleh
adanya status budaya.

Baca juga:  Kabut, Truk dan Avanza Tabrakan di Kintamani

Terlebih juga berbagai jabatan dan profesi yang berbeda. Ini berarti bahwa pertama, budaya dengan statusnya dapat disesuaikan dengan bagaimana orang menjalani profesinya itu termasuk apakah tahu malu ataukah tidak tahu malu. Kedua, apakah kemudian juga terkait dengan kesetiaan terhadap kebenaran yang ter-
kandung dalam profesinya itu sehingga jabatan seperti Menteri bahkan presiden sekalipun mesti juga terkandung suatu makna budaya tersendiri untuk dapat dipertanggungjawabkan keluhurannya itu sehingga jika tidak maka luluhlah apa yang disebut sebagai status budaya yang melekat di dalam pekerjaannya.

Apa yang terkandung dalam status budaya mesti juga berarti penting untuk menakar seberapa dalam sebenarnya kejujuran dalam budaya itu terjadi. Kejujuran berarti bahwa tidak mungkin mengingkari adanya kesalahan kecuali dengan sengaja kesalahan itu dianggap bukan kesalahan seperti merebaknya budaya
nepotisme yang terbingkai dalam hukum.

Kedewasaan seperti ini mesti menjadi semacam panggilan jiwa untuk tidak terlibat didalamnya jika itu salah. Jika tidak mengerti itu salah maka status budaya yang terjadi adalah kesalahmengertian dalam menunjukkan kedewasaan dalam berprofesi sehingga menjadikan yang salah seolah-olah benar selama orang tidak menggugat.

Baca juga:  Koperasi Besar Berorientasi Ekspor

Inilah bahayanya ketika memandang budaya dengan sebelah mata. Termasuk terjadi menyalahgunakan kekuasaaan dalam bidang kebudayaan. Kekuasaan dalam bidang kebudayaan tidak mengerti akan substansi dari budaya itu sehingga semua dikerjakan menurut aturan yang mungkin sudah tidak diperlukan lagi. Untuk itulah diperlukan kekritisan baru agar apa yang dulu dikerjakan dengan kritis dikritisi kembali.

Itulah yang disebut status budaya yang dapat berubah.
Perubahan status budaya dikenakan terhadap budaya yang teridentifikasi sebagai budaya. Jika nepotisme itu bukan budaya maka cepatlah itu disikapi dengan tegas.

Begitupun berbagai kebiasaan lain yang mulai bermunculan yang bukan budaya namun disebut budaya semoga lekas dikritisi kembali agar menuju kepada jalur yang lebih benar. Seterusnya dengan jalur yang lebih benar itu tidak menimbulkan kemacetan ibarat macetnya kondisi lalu lintas yang mungkin ada di tempat saudara tinggal.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *