I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Hakikat dari pembangunan dalam konsep ilmu ekonomi dapat diartikan suatu proses pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, sebagian besar masyaraat beralih dari taraf kehidupan yang miskin menuju kehidupan yang lebih baik (Berger.1997:170).

Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional selain mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, pengentasan kemiskinan, juga mensyaratkan berlangsungnya serangkaian perubahan secara besar-besaran terhadap struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional (Todaro 2000,19).

Pengertian tersebut tampak jelas lebih mengacu pada “Pertumbuhan”. Ukuran pokok dari pertumbuhan ekonomi adalah adanya kenaikan Gross National Product (GNP) atau Produk Nasional Bruto (PNB) dan kenaikan pendapatan perkapita (per capita income). Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan seperti dipaparkan di atas, umumnya bersifat kapitalis.

Pembangunan model kapitalistis hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi sering mendapat perhatian oleh beberapa ekonom. Semakin lama semakin banyak ekonom dan perumus kebijakan yang meragukan keampuhan tolok ukur GNP sebagai indikator tunggal atas terciptanya suatu kemakmuran.

Secara kuantitatif tolak ukur atau indikator keberhasilan pembangunan antara lain :(1) Pertumbuhan Ekonomi (2) Rasio Gini (3) Indeks kualitas hidup secara fisik (PQLI), (4) Pembangunan berkelanjutan (5), Indeks kekayaan Inklusif (WealthIndex Inclusive) dengan prasyarat adanya stabilitas nasional (tidak terjadi kerusuhan sosial) serta tidak terjadi kerusakan sumber daya alam.

Baca juga:  Sisi Lain Terorisme di Selandia Baru

Sistem pembangunan yang mengacu dan tertuang dalam RPJP maupun RPJM sebagai landasan merencanakan program dan kegiatan belum mampu menuntaskan berbagai masalah baik itu permasalahan degradasi lingkungan maupun permasalahan sosial masyarakat seperti pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan yang mencerminkan proses pembangunan belum merata dirasakan oleh mayarakat.

Sejalan perkembangan teknologi yang semakin masif
serta berkembangnya pembangunan di segala bidang yang diharapkan kue hasil pembangunan bisa dinikmati secara merata belum memberikan dampak signifikan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Ketidakberdayaan yang dialami manusia kadang-kadang datang sebagai kenyataan hidup yang harus dijalani, bagi orang yang tidak siap dan goyah keyakinannya sehingga kegagalan bisa berakibat fatal, tidak jarang ada orang yang frustasi, rendah diri, stres, hilang semangat hidup dan bahkan bunuh diri. Mereka
yang meninggal dengan sengaja menghilangkan nyawanya, disebut ulah pati, (bunuh diri, baik meneguk
racun, menceburkan diri maupun gantung diri) dianggap hal yang sangat berdosa.

Baca juga:  UN, Uji Nalar Tinggi Siswa

Hidup ini tidak lepas dari samsara, dimana ada rasa suka, duka dan lara pati, kematian pasti, sehingga dengan pemahaman tersebut diharapkan nantinya akan membawa keselamatan menuju kesadaran semesta. Kematian ulah pati dipengaruhi oleh Kleda, yaitu sifat yang mudah menyerah, cepat putus asa, dan pesimis tanpa berpikir panjang dalam memecahkan masalah.

Dalam Manawa Dharma Sastra dan lontar Parasara Dharmasastra , dijelaskan juga bahwa dosa ini juga akan menular untuk mereka yang ngentas dan mereka yang mengambil mayatnya.

Data yang dikeluarkan oleh Pusiknas Polri tahun 2023 bahwa angka bunuh diri di provinsi Bali sebesar 3,07% dibandingkan dengan jumlah penduduk dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah setiap tahun yang diakibatkan oleh kondisi psikis, emosi, mental dan spiritual seseorang kurang tangguh, tidak kokoh dan tidak kuat, sebagai dampak beban hidup semakin berat dan kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan kemampuan literasi dalam pemanfaatan teknologi yang cepat dan tanpa batas.

Baca juga:  Sisi Lain Hasil Kongres PSSI

Bunuh diri (ulah pati) juga dapat dikatakan sebagai perbuatan tidak elegan untuk dapat menyelesaikan masalah, karena saat ini kita tidak dapat menuntaskan tugas atau masalah dengan meniadakan atman dalam diri. Dalam aspek normatif agama, bunuh diri dalam pandangan Hindu disebutkan: Sang roh yang tubuhnya meninggal dengan cara bunuh diri akan berada di alam kegelapan (asurya loka). Untuk menghindari hal seperti itu, seberapapun buruknya dan beratnya permasalahan yang ada dalam kehidupan ini, hendaknya janganlah sampai kehilangan kasih sayang dan hakekat dari kelahiran mencapai tujuan tertinggi yaitu moksa sebagai kebahagiaan di dunia ini dan akhirat yang kekal abadi.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung

BAGIKAN