Anak-anak melihat tradisi Ngelawang yang dipentaskan usai Galungan. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Selain penjor, ngelawang merupakan tradisi yang menjadi ciri khas ketika perayaan Galungan dan Kuningan tiba. Ngelawang biasanya dilakukan oleh sekumpulan anak-anak dengan menarikan barong yang diiringi dengan gamelan dan berkeliling di jalan-jalan desa.

Mengutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ngelawang Barong berasal dari kata lawang yang artinya pintu. Ngelawang merupakan suatu kegiatan dimana warga menarikan tari Barong dari rumah ke rumah bahkan desa ke desa.

Dalam mitologi Bali, Barong merupakan simbol  perwujudan Banaspati Raja yang melindungi manusia dari wabah penyakit dan bahaya.

Barong Gelawang biasanya dibawakan oleh kelompok yang terdiri dari delapan sampai lima belas anak atau remaja, dua orang diantaranya berperan sebagai penari dengan kostum barong dan sisanya berperan sebagai penabuh gamelan. Penonton yang berpartisipasi dan menikmati tarian ini mempersembahkan sedekah (punia) sebagai rasa syukur dan rasa terima kasih.

Baca juga:  Memaknai Perayaan Suci Galungan di Zaman Global

Meskipun Ngelawang sarat dengan nilai religi, namun tradisi ini  merupakan sebuah pertunjukan seni yang unik, menyenangkan dan menghibur, sehingga tidak heran jika masyarakat dan wisatawan juga dapat menikmatinya.

Ngelawang bermula dari mitos seorang dewi cantik bernama Ulun Danu yang mempunyai hati yang baik dan menjelma menjadi  raksasa yang  membantu penduduk desa mengusir roh jahat dan membagikan Tirta Amerta. Awalnya, ritual ini merupakan ritual sakral dan magis.

Barang-barang keramat dan sakral seperti barong dan rangda dibawa berkeliling desa dan Banjar untuk melindungi warga. Bulu Rangda dan Barong yang tercecer akan dipungut oleh warga yang mempercayainya dan menggunakannya sebagai benda pembawa keberuntungan.

Baca juga:  Masuki Bulan Puasa, Harga Sembako Masih Stabil

Namun berkat kreativitas masyarakat Bali, barang-barang sakral tersebut kini dijadikan tiruan, ditampilkan dalam pertunjukan oleh banyak anak, dan sekadar dibayar sebagai tanda terima kasih.

Dijelaskan juga dalam lontar “Barong Swari,” Batara Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjadi Dewi Durga. Selama berada di dunia, Dewi Durga melakukan tapa semadi.

Konon ketika Dewi Durga sedang bertapa menghadap utara, muncul wabah penyakit bernama Gering Lumintu. Wabah mematikan ini mempengaruhi semua orang di seluruh dunia.

Dan ketika Dewi Durga sedang bertapa menghadap ke barat, timbulah wabah penyakit bernama Gering Hamancuh.

Saat bermeditasi menghadap ke selatan, terjadilah wabah Gering Rug Bhuana. Dan ketika sedang bermeditasi ke arah timur, terjadilah wabah Gering muntah mencret.

Hal ini membuat marah Sanghyang Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Beliau kemudian turun ke dunia dan masing-masing berubah wujud.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Masih Tinggi, Pelaku Pariwisata Diminta Pahami Kebijakan Ketat Batasi Pelaku Perjalanan

Batara Brahma menjadi Topeng Bang, Wisnu berubah wujud menjadi Telek, dan Siwa menjadi Barong. Tujuan dari Ngelawang Barong, di samping untuk mengusir penyakit (gering), juga dimaksudkan untuk merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma. Dilansir dari Website Kota Denpasar.

Budaya dan tradisi Ngelawang ini merupakan warisan leluhur dari jaman dahulu kala, meskipun telah mengalami beberapa perubahan namun tetap memiliki nilai seni dan sakral hingga saat ini. Di destinasi wisata, tradisi Ngelawang menjadi pemandangan yang menarik bagi wisatawan.

Mereka menghargai kreativitas anak-anak yang mewarisi budaya leluhurnya. Semoga budaya dan tradisi ini tidak hancur karena berbagai perubahan zaman yang semakin maju. (Cahya Dwipayanti/balipost)

BAGIKAN