Hamparan lahan sawah di Jembrana. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Swasembada beras telah lama menjadi keraguan yang dapat dicapai Indonesia. Pasalnya, keberhasilan swasembada beras di 1984 di era Soekarno hanya bersifat sementara yaitu 5 tahun. Meski pengertian swasembada beras itu sendiri belum gamblang menjadi pemahaman bersama.

Akademisi Agribisnis Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gede Ustriyana, Jumat (20/9) menjelaskan, swasembada beras di zaman Soeharto sempat mencapai pengakuan dari FAO karena kerja raksasa yang dilakukan di jaman itu. Sementara saat itu swasembada beras sulit dicapai, karena beras merupakan komoditas politik.

Indonesia dengan jumlah penduduk luar biasa banyak menjadi target market pasar beras dari berbagai negara produsen. Selain itu negara, seperti Vietnam, Laos, dan Thailand, usaha tani padinya berteknologi maju.

Baca juga:  Jangan Lagi Bermimpi Datangkan Wisatawan, Kesehatan Masyarakat Bali Dipertaruhkan

Sehingga produktivitasnya jauh di atas Indonesia. “Pada saat zaman Soeharto, target pembangunan pertaniannya terfokus maka hanya mengejar target tersebut dan upaya yang dilakukan secara besar-besaran. Setelah itu ada kebijakan saling menjaga,” jelasnya.

Menurutnya jika Bali mau fokus pada upaya menjaga ketahanan pangan khususnya beras bisa saja dilakukan. Namun kondisi beberapa lahan pertanian di Bali sudah melampaui batas kesuburannya akibat penumpukan unsur-unsur kimia.

Maka dari itu perlu mengembalikan unsur-unsur hara tanah terlebih dahulu. “Itu sebabnya produktivitas padi sawah di Indonesia sulit ditingkatkan karena tanahnya rusak, dari itu perlu teknologi luar biasa seperti upaya food estate yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus Nartkotika, Warga Australia Dihukum Setahun Penjara

Hal itulah yang menyebabkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara ASEAN lain berdasarkan laporan Bank Dunia. Sementara indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di bawah 100 yang mengindikasikan petani di Bali belum Sejahtera. Pada Juli 2024, indeks NTP Bali yaitu 99,44 turun 3,44 persen.

Selain itu padi sudah tidak layak dikembangkan. “Artinya apa yang dilakukan petani itu, apa yang dia keluarkan untuk budidaya pertanian, lebih rendah hasilnya dibandingkan dengan harga yang dia bayar untuk membeli segala keperluan lainnya di luar usaha taninya,” ujarnya.

Hal ini yang membuat dilema meminta petani tetap menjalankan usaha tani padi, padahal di sisi lain sudah tidak menguntungkan jika menghitung segala biaya, misalnya ongkos tenaga kerja, sewa traktor tinggi, bibit dan pupuk. Petani diberikan subsidi jika ingin menjaga ketahanan pangan beras.

Baca juga:  Sisa Beras Untuk Pengungsi Mulai Diserang Kutuan

Oleh karena itu alternatifnya adalah memberi peluang varietas diluar padi yang dapat dikembangkan petani. “Karena memang tidak bisa lagi petani mengandalkan padi mengingat telah terjadi perubahan iklim, contoh di Penebel, Tabanan sejak dulu budidaya beras, akhir-akhir ini mulai seret terutama dari pengairan. Sekarang 1 kali panen saja sudah susah, berbeda dengan dulu yang bisa 2 -3 kali panen. Lalu bagaimana bisa mengandalkan usaha tani padinya untuk menunjang kebutuhan rumah tangganya, maka beri peluang kembangkan hortikultura,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *