DENPASAR, BALIPOST.com – Badan Pusat Statistik Bali, Rabu (2/10) merilis Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Bali pada September 2024 tercatat sebesar 98,36. Meski indeks ini naik 0,06 persen dibanding bulan sebelumnya, namun tetap di bawah 100.
Bahkan angka ini beruntun selama tiga bulan berada di bawah 100. Ini artinya biaya yang dikeluarkan petani tak sebanding dengan penghasilannya.
Akademisi Agribisnis Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gede Ustriyana mengatakan, melihat kondisi ini, padi sudah tidak layak dikembangkan. “Artinya apa yang dilakukan petani itu, apa yang dia keluarkan untuk budi daya pertanian, lebih rendah hasilnya dibandingkan dengan harga yang dia bayar untuk membeli segala keperluan lainnya di luar usaha taninya,” ujarnya.
Hal ini yang membuat dilema untuk meminta petani tetap menjalankan usaha tani padinya padahal di sisi lain sudah tidak menguntungkan jika menghitung segala biaya seperti ongkos tenaga kerja, sewa traktor tinggi, bibit dan pupuk. Maka dari itu, petani diberikan subsidi jika ingin menjaga ketahanan pangan beras.
Dia mengatakan alternatifnya adalah memberi peluang varietas diluar padi yang dapat dikembangkan petani. “Karena memang tidak bisa lagi petani mengandalkan padi mengingat telah terjadi perubahan iklim, contoh di Penebel, Tabanan sejak dulu budidaya beras, akhir-akhir ini mulai seret terutama dari pengairan. Sekarang 1 kali panen saja sudah susah, berbeda dengan dulu yang bisa 2 -3 kali panen. Lalu bagaimana bisa mengandalkan usaha tani padinya untuk menunjang kebutuhan rumah tangganya, maka dari beri peluang kembangkan hortikultura,” tandasnya.
Plt. Kepala BPS Bali Kadek Agus Wirawan mengatakan, Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,18 persen, sedangkan Indeks yang Dibayar Petani (Ib) yang tercatat sebesar 0,12 persen. Kenaikan indeks yang diterima petani lebih tinggi dari indeks yang dibayar petani sehingga membuat NTP naik 0,06 persen.
Secara nasional, indeks NTP tercatat sebesar 120,30 atau naik 0,38 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Indeks tersebut jauh di atas indeks NTP Bali yang hanya tercatat 98,36. Sedangkan dibanding provinsi lain, seperti NTP Provinsi Bengkulu tercatat mengalami kenaikan NTP paling tinggi, sebesar 2,68 persen. Sebaliknya, NTP Provinsi Papua Barat tercatat mengalami penurunan yang paling dalam, sebesar 2,02 persen.
Sementara jika dilihat dari komoditas pertanian yang mampu mengangkat NTP petani pada September 2024, bukan dari subsektor tanaman pangan yaitu padi tapi dari subsektor hortikultura dan tanaman perkebungan rakyat yaitu cengkeh, kopi.
Sementara, jika melihat Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) Provinsi Bali pada bulan September 2024 tercatat sebesar 123,45 atau naik setinggi 0,14 persen dibandingkan kondisi bulan sebelumnya. Kenaikan konsumsi rumah tangga ini, lebih tinggi daripada kenaikan indeks NTP petani.
Namun, jika indeks pengeluaran rumah tangganya dikeluarkan dari komponen yang dihitung sebagai Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP), maka petani tergolong sejahtera karena indeksnya di atas 100. Indeks NTUP Provinsi Bali September 2024 tercatat di atas 100 yaitu sebesar 102,68 atau naik 0,15 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya.
Indeks NTP Januari-September 2024 menggambarkan NTP yang terjadi selama tahun berjalan. Indeks NTP Januari-September 2024 tercatat lebih tinggi 3,54 persen dibandingkan indeks NTP tahun 2023 pada periode yang sama. Sejak Juli 2024 hingga September 2024, indeks NTP di bawah 100 yaitu 99, 98, dan 98.
Kenaikan NTP paling tinggi terjadi pada subsektor hortikultura yang naik setinggi 11,37 persen, diikuti kenaikan pada subsektor tanaman perkebunan rakyat setinggi 6,90 persen, dan subsektor tanaman pangan yang naik setinggi 3,49 persen. (Citta Maya/balipost)