Putu Wirawan Mahayana. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Wirawan Mahayana

Bali dalam perkembangannya dikenal sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Indonesia dengan menawarkan pariwisata alam dan budaya. Memiliki luas lahan produktif berupa pertanian menurut Satu Data Indonesia Provinsi Bali sebanyak 74.723 hektar pada tahun 2020.

Serta menurut Kementerian Pertanian per 2024, luas sawah pada fase penanaman padi dengan data landsat periode 17 Januari – 1 Februari 2024 menurun menjadi 71.890 hektar. Terlihat angka tersebut mengalami penyusutan. Data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali menyebutkan sekitar 2.000 hektar lahan persawahan di Bali lenyap per tahunnya.

Lahan produktif yang sejak zaman dulu digunakan oleh masyarakat Bali sebagai salah satu wilayah agraris untuk melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan semakin menipis. Berbanding terbalik dengan jumlah alih fungsi lahan yang cenderung meningkat terutama dengan “kepentingan” pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, vila dan fasilitas lainnya serta kebutuhan pemukiman bagi penduduk yang semakin padat di Bali menurut Satu Data Indonesia Bali dengan jumlah 4.363 ribu jiwa pada tahun 2021 dan setahun kemudian sebanyak 4.415 ribu jiwa pada tahun 2022. Artinya, terjadi pertumbuhan jumlah penduduk sekitar sebanyak 52 ribu penduduk per tahunnya yang berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan pemukiman.

Baca juga:  Pergub 99/2018 Pilar Pendapatan Petani Bali

Kembali pada lahan hijau di Bali, tidak sedikit para pemilik lahan pertanian yang menjual lahannya kepada investor dengan berbagai motif, mulai dari permasalahan ekonomi (menurunnya penghasilan), tidak mau lagi mengolah lahan, hingga tidak dilanjutkannya pertanian atau perkebunan oleh anak cucunya. Lahan selanjutnya dialihfungsikan menjadi bangunan yang nonproduktif dan mengancam tingkat kesuburan tanah dan lingkungan di sekitarnya.

Proses pengalihan lahan hijau menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Cipta Kerja dan ketentuan turunannya telah dilarang. Namun, yang terjadi di lapangan, praktik-praktik penggeseran zona lahan hijau menjadi pemukiman atau bangunan gedung masih terbilang marak. Salah satu akademisi asal Bali menyebut sekitar 80 persen lahan di Bali dimiliki investor asing, yang artinya, warga negara asing (WNA) yang tidak diperbolehkan memiliki sertifikat hak milik (SHM) dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960 masih bergerilya menggunakan perjanjian nomine atau sering disebut dengan istilah perwakilan atau pinjam nama berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua belah pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya.

Baca juga:  Perilaku Humble dan Pengetahuan Metakognitif

Sehingga, guna mempertahankan angka jumlah lahan hijau di Bali, perlu dilakukan banyak cara. Konkret untuk dilakukan, penetapan zona pada Perda rencana tata ruang wilayah RTRW di Bali tidak berubah-ubah agar tidak ada praktik pengalihan lahan hijau lagi.

Kemudian, pengetatan pemberian persetujuan bangunan gedung (PBG) agar sesuai AMDAL, karena jika pembangunan dan aktivitas bangunan tersebut melanggar AMDAL akan berdampak tidak hanya pada lahan tersebut, namun juga pada lingkungan sekitar bahkan lingkungan Bali dan dunia. Misalnya, sebuah fasilitas pariwisata dibangun dan tidak mengolah limbah buangannya, tentunya selain lingkungan sekitar, saluran sungai hingga bermuara ke laut akan terkena dampak buruk, merusak ekosistem dan lingkungan.

Jangka panjang yang bisa dilakukan melalui studi perbandingan dengan maraknya sekolah tinggi pariwisata di Bali (karena pariwisata telah menjadi komoditas utama), mulai dari tingkat diploma 1, diploma 3, sarjana bahkan pasca sarjana, perlu dibangun sekolah tinggi vokasi (diploma) pertanian untuk memaksimalkan pengelolaan lahan hijau. Mengapa harus vokasi? Perbedaan utama antara pendidikan vokasi dan sarjana terletak pada tujuan dan fokusnya dimana pendidikan vokasi menekankan keterampilan dan pengetahuan praktis untuk profesi atau keahlian tertentu. Sedangkan, pendidikan sarjana menawarkan pendidikan yang lebih luas dan umum yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Terlebih, di Bali telah ada beberapa universitas dan perguruan tinggi yang menawarkan program studi sarjana pertanian.

Baca juga:  Tantangan Etika Lingkungan

Diharapkan, dengan dibangunnya perguruan tinggi vokasi pertanian, misalnya (Politeknik Pembangunan Pertanian/Polbangtan) atau pergurruan tinggi vokasi pertanian lainnya yang telah ada di Indonesia. masyarakat terutama anak cucu dari petani, pemilik lahan tani dan perkebunan akan melanjutkan pengelolaan sesuai dengan fungsi lahan secara bergenerasi sebagai lahan hijau atau dengan kata lain tidak meninggalkan tanah yang telah turun temurun menjadi sejarah perjalanan Bali. Pemerintah juga dapat memberikan full funded beasiswa kepada masyarakat kurang mampu yang berkomitmen untuk mengolah lahan pertanian dan melanjutkan pengolahan lahan yang telah menjadi warisan turun temurun. Hal ini tentunya harus berjalan beriringan dengan cita-cita reforma agraria.

Selain melakukan penataan aset (dalam hal ini legalitas kepemilikan tanah), juga pemerintah menyediakan sarana dukungan atau sarana prasarana dalam bentuk penyediaan infrastruktur, dukungan pasar, permodalan, teknologi, dan pendampingan lainnya. Akhirnya, niscaya akan tercapai masyarakat sebagai subjek reforma agraria yang bertumbuh secara ekonomi dan tidak menilai petani dengan stigma pekerjaan termarjinalkan.

Penulis, Pengurus DPD GMNI Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *