Putu Novia Hapsari Ardianti. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Novia Hapsari Ardianti

Siapa yang tak ingin berkunjung ke Bali? Destinasi ikonik dunia yang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, tercatat sebanyak 616.641 wisatawan mancanegara  pada bulan Agustus 2024 ke Bali, 613.540 melalui pintu masuk Bandara Ngurah Rai, dan 3.101 melalui pelabuhan laut. (bali.bps.go.id).

Meski banyaknya kunjungan wisatawan ini memberikan keuntungan dari sisi ekonomi, dampak negatif dari kunjungan wisatawan tidak bisa dihindarkan. Lalu lintas di kawasan wisata utama seperti Seminyak, Kuta, dan Ubud menjadi macet parah dan mengganggu aktivitas penduduk.

Apalagi banyak wisatawan sekarang lebih memilih menyewa kendaraan sendiri dibandingkan harus menggunakan angkutan umum. Infrastruktur yang terbatas di Bali kurang mampu mengimbangi lonjakan volume kendaraan baik dari wisatawan maupun penduduk setempat. Apakah Bali sudah bisa dikatakan overtourism?

Istilah yang sedang ramai akhir-akhir ini yaitu “di Bali apa alih ada”, mungkin bisa mewakili ekspresi keterheranan kita terhadap berbagai macam perilaku nyeleneh yang dilakukan oleh sebagian turis asing di Bali. Tidak tersaringnya turis asing yang bisa masuk ke Bali mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Mulai dari tidak menghormati nilai-nilai budaya lokal seperti menggunakan busana yang tidak sopan di area suci, pelanggaran lalu lintas, kecelakaan, bahkan hingga tindak kriminal seperti kekerasan dan pabrik narkoba.

Baca juga:  Banyak Jalan Berlubang dan Bergelombang, Penanganan Infrastruktur Denpasar Jadi Sorotan

Tak hanya bagi Bali, ternyata dampak negatif overtourism juga dirasakan oleh sebagian wisatawan itu sendiri. Dari sudut pandang wisatawan, overtourism justru menurunkan kualitas pengalaman liburan mereka. Tempat wisata yang terlalu padat, antrian yang panjang, menyebabkan rasa kurang puas dan kehilangan esensi dari berwisata yang akhirnya bisa mengurangi daya tarik Bali sebagai destinasi wisata eksklusif.

Dampak yang lebih besar justru dirasakan oleh warga lokal. Overtourism menyebabkan kenaikan harga tanah, properti, dan kebutuhan pokok di daerah wisata utama. Banyak warga yang merasa tidak mampu bersaing dengan harga yang didorong oleh permintaan dari wisatawan dan investor asing. Munculnya diskriminasi terhadap warga lokal yang ingin berwisata juga menjadi persoalan.

Baca juga:  Beban Bali Makin Berat

Beberapa restoran, hotel, dan tempat wisata di Bali cenderung memprioritaskan pelayanan kepada turis asing, sementara warga lokal sering kali diperlakukan secara berbeda, atau bahkan tidak diperbolehkan mengakses beberapa fasilitas tertentu. Apakah warga lokal Bali tidak boleh berwisata dan menikmati keindahan pulaunya sendiri? Perlakuan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan kesenjangan antara warga lokal dan industri pariwisata yang seharusnya inklusif.

Pemerintah harus segera bertindak untuk mengatasi fenomena dan permasalahan ini. Perlu adanya Langkah diversifikasi destinasi wisata di Bali. Pengembangan pariwisata yang merata di Bali Utara atau di Bali Barat, sehingga beban yang selama ini terfokus di Bali Selatan bisa berkurang. Pemerintah juga perlu melakukan promosi pariwisata berkelanjutan, edukasi mengenai norma dan budaya Bali kepada wisatawan agar bisa ikut serta menjaga dan menghargai keaslian budaya Bali.

Menyikapi situasi ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dikutip dari Balipost.com, juga telah menyerukan audit menyeluruh terhadap sektor pariwisata Bali untuk menertibkan wisatawan asing yang bermasalah. Penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran, seperti penyalahgunaan izin tinggal dan tindakan kriminal, diharapkan mampu mengurangi dampak negatif overtourism.

Baca juga:  Alokasi Anggaran APBD Bali, Ini Rinciannya

Pelestarian budaya Bali harus menjadi prioritas, karena ini adalah salah satu daya tarik utama pulau Bali. Melestarikan upacara adat bisa dijadikan kunci untuk menjaga Bali tetap otentik dan spiritual.

Pemerintah, masyarakat lokal, dan pelaku industri pariwisata harus bekerjasama untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan, demi menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat lokal. Bukan tidak bersyukur dengan kedatangan turis ke Bali, tetapi jika bisa di hadapi dengan kebijakan yang tepat, bukankah lebih baik?. Sehingga Bali dapat terus menjadi destinasi wisata unggulan tanpa harus mengorbankan identitas budaya dan kesejahteraan masyarakat lokalnya.

Penulis,  Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Udayana Angkatan-4

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *