Dokter Spesialis Mata dr. Cokorda Istri Dewiyani Pemayun, Sp.M (K) (kiri) dan Dokter Spesialis Mata, dr. Ni Luh Diah Pantjawati, Sp.M (K) memberikan penjelasan terkait gangguan mata minus. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Banyaknya aktivitas menatap layar gadget menyebabkan gangguan mata minus terus mengalami peningkatan.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyebut kelainan refraksi berkontribusi terhadap 10-15 persen kasus gangguan penglihatan. Sementara, di tataran global, studi memperlihatkan, sekitar 3,3 miliar orang akan menderita miopia pada 2050.

Menurut Dokter Spesialis Mata dr. Cokorda Istri Dewiyani Pemayun, Sp.M (K), Sabtu (12/10), penderita gangguan mata minus, plus silinder sangat banyak. Bahkan WHO menyampaikan 50 persen penduduk di dunia ini akan mengalami mata minus dan silinder karena aktivitas yang banyak menggunakan gadget.

Baca juga:  Biji Apel Bisa Sebabkan Keracunan? Ini Faktanya

“Screentime kita lama, kalau sekarang baru 15-25 persen, 10 tahun ke depan sudah menjadi 50 persen,” ujar perempuan yang merupakan Direktur JEC Bali ini.

Ia mengungkapkan anak-anak sekolah banyak sekali menderita minus. Namun, mereka baru boleh menjalankan tindakan lasik setelah berusia 18 tahun.

Ditambahkan Dokter Spesialis Mata, dr. Ni Luh Diah Pantjawati, Sp.M (K), sebagian besar penderita mata minus, dan kelainan refraksi lainnya, sangat bergantung pada kacamata atau lensa kontak untuk melihat lebih jelas. Ketergantungan pada alat bantu penglihatan cukup mengganggu kehidupan sehari-hari.

Baca juga:  Kedatangan Turis Asing Ditunda, Pelaku Pariwisata Lebih Mantapkan Prokes

Namun, ia menyebut seiring perkembangan teknologi, terdapat tindakan laser vision corection yang memungkinkan treatment dilakukan lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu tindakan menjadi jauh lebih singkat, tercatat satu tindakan bisa terselesaikan hanya dalam 22-23 detik.

Selain itu, pasien merasa lebih tidak cemas karena durasi pengerjaannya lebih cepat dan rasa sakit yang minimum (painless) setelah tindakan selesai. Tindakan dilakukan tanpa pembuatan sayatan pada kornea mata menjadikan pasien tidak rentan mengalami trauma mata pascatindakan.

Baca juga:  Tuntutan Dinilai Tak Setimpal, Keluarga Korban Luapkan Emosi ke Terdakwa Pembunuh Pensiunan Polisi

“Teknologi ini dapat digunakan untuk menangani kondisi mata minus maupun kombinasi antara minus dan silinder, dengan ukuran -0.5 Diopter sampai dengan -10 Diopter,” jelasnya.

Ia pun menyarankan agar tidak membaca terlalu dekat, mengurangi penggunaan gadget, banyak berkegiatan di outdoor untuk mengoptimalkan kerja mata, terutama bagi anak-anak. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN