Seorang petani sedang melakukan perawatan tanaman padi di Subak Sembung, Denpasar. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh pada 16 Oktober setiap tahunnya menjadi pengingat bagi dunia bahwa kekuatan suatu bangsa bergantung pada kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat secara berkelanjutan.

Momen HPS adalah tentang meningkatkan kesadaran dan perhatian tentang pentingnya penanganan permasalahan pangan secara berkelanjutan di tingkat nasional, regional, dan global di tengah ancaman krisis pangan.

Mengutip dari situs Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), HPS merupakan upaya untuk menarik perhatian terhadap semakin meningkatnya kerentanan dunia terhadap krisis pangan. FAO telah mengingatkan ini sejak Konferensi Pangan Dunia di Roma pada 1974.

Baca juga:  Antisipasi Macet Umanis Galungan, Dishub Badung Siagakan Ratusan Personel

Pada pertemuannya yang ke-20 yang diadakan di Roma pada November 1979, FAO mencetuskan resolusi 179 untuk memperingati Hari Pangan Sedunia, yang disetujui oleh seluruh negara anggota FAO, termasuk Indonesia.

Sejak 1981, HPS diadakan setiap tahun pada 16 Oktober, bertepatan dengan tanggal berdirinya FAO, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1945, di Kota Quebec City, Canada.

Meskipun para petani di dunia menghasilkan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan populasi global yang lebih besar, kelaparan masih tetap ada.

Sekitar 733 juta orang di seluruh dunia terkena dampak kelaparan akibat guncangan iklim yang berulang, konflik, kemerosotan ekonomi, kesenjangan, dan pandemi. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesenjangan di dalam suatu negara, dengan dampak terburuk terhadap masyarakat miskin dan rentan, yang sebagian besar adalah rumah tangga pertanian.

Baca juga:  Hadapi COVID-19, Bali Diminta Pastikan Cadangan Pangan

Demi semua orang, kita memerlukan lebih banyak varian makanan bergizi di ladang, pasar, dan di meja makan. Lebih dari 2,8 miliar orang di seluruh dunia tidak mampu membeli makanan sehat.

Pola makan yang tidak sehat merupakan penyebab utama segala bentuk kekurangan gizi, yang saat ini terjadi di sebagian besar negara dan berdampak pada semua kelompok sosial ekonomi. Maka dari itu banyak orang-orang dengan terpaksa membeli makanan yang lebih murah yang dimana itu adalah makanan tidak sehat.

Baca juga:  Jelang Nataru, Proyeksi Kebutuhan Uang Tunai Capai Rp2,7 Triliun

Di sisi lain, beberapa orang kekurangan makanan segar atau beragam, dikarenakan kekurangan informasi yang mereka perlukan untuk memilih makanan sehat, atau sekadar memilih makanan ringan. Selain itu, Kelaparan dan kekurangan gizi diperburuk oleh krisis berkepanjangan yang diakibatkan oleh kombinasi konflik, peristiwa cuaca ekstrem, dan guncangan ekonomi.

Maka dari itu dengan melakukan transformasi sistem pertanian dan pangan, terdapat potensi besar untuk memitigasi perubahan iklim dan mendukung kehidupan yang damai, tangguh, dan inklusif bagi semua orang. (Ni Wayan Linayani/balipost)

BAGIKAN