Oleh I Gusti Ketut Widana
“Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memanggil pelaksana yang menyalakan kembang api saat upacara persembahyangan umat Hindu di Pantai Brawa. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bali, Tjok Bagus Pemayun, di Denpasar, Rabu (16/10). Semua pelaku usaha harus menyesuaikan adat istiadat, memang itu (atraksi kembang api) pariwisata, tapi kita lihat pantas tidak begitu, ini bukan ditelusuri saja, tapi panggil sudah. Tjok Bagus mengingatkan pariwisata Bali berbasis budaya, sehingga perlu izin dan mempertimbangkan kearifan lokal untuk wisata satu itu” (Denpasar, Balipost.com, Kamis, 17/10).
Setelah kasus penangkapan dan pemidanaan Bendesa Adat Brawa, kali ini kembali viral lewat kanal yuotube tampilan sebuah acara ritual suci umat Hindu di tepi pantai Brawa berbarengan dengan atraksi pesta kembang api di sebuah club house. Dentuman suaranya bergemuruh menenggelamkan suara genta plus lantunan kekidung umat.
Sungguh sebuah pemandangan kontras tetapi terkesan selaras, seolah ledakan suara mercon dan kembang api itu menjadi “keplugan” (piranti byakala dari beberapa bilah bambu yang dibakar). Apakah itu sebuah penciri harmoni, hasrat adopsi, minat adaptasi atau malah menjadi ironi di gumi Bali yang suci tetapi terus dicederai bahkan dinodai trend pariwisata kapitalistik bertendensi hedoni?
Lebih jauh lagi, pariwisata Bali berbasis budaya, didalamnya termasuk unsur tradisi dan religi, yang awalnya sebagai magnet daya tarik turis, justru kini ditarik dalam pusaran arus gelombang industri pariwisata nir-etika (tata krama). Menjadi sebuah dilema, di satu sisi, pelaku pariwisata merasa sah-sah saja melakukan apa saja dengan bekal perizinan (legal formal) dari pihak aparat/pejabat setempat, termasuk mengadakan atraksi pesta kembang api. Dari sisi para tamu (turis), menganggap dengan uang yang dibayarkan ke pihak pengelola/penyedia akomodasi, mereka boleh berbuat apa saja untuk bersenang-senang.
Sementara dari pihak desa/krama adat setempat, yang sebenarnya berposisi sebagai tuan rumah, dengan perangkat aturan yang dimiliki (awig-awig/pararem) mestinya dapat “mengendalikan”, tapi ternyata menurut informasi di lapangan, tidak dapat berbuat apa-apa alias pasrah menerima kenyataan.
Berada pada posisi itu, menjadikan aktivitas ritual religi berdimensi magi seperti diwajibkan mengadaptasi diri, harus menerima situasi dan kondisi : ritual suci dan atraksi mercon-kembang api berjalan beriringan meski tampak sangat kontradiksi. Kiranya untuk hal begini penting sekali dilakukan kompromi dengan semua pihak pemangku kepentingan agar mendapatkan solusi paling serasi.
Logika berpikirnya, pariwisata dan masyarakat Bali saling membutuhkan dukungan, satu sama lain tidak boleh mengedepankan ego sektoral. Industri pariwisata memerlukan supporting bentangan keindahan alam dan khususnya budaya (adat, tradisi, religi) sebagai pemancar taksu, sedangkan masyarakat (krama/desa adat) membutuhkan dukungan finansial (pendapatan) guna menopang keberlanjutan pembangunan.
Merealisasikan gagasan dimaksud, sepertinya penting dibuat semacam fakta integritas dan loyalitas untuk berkomitmen dan konsisten mengintegrasikan dengan penuh kesetiaan mengikuti/mematuhi segala peraturan (perundang-undangan) hingga ke tingkat ketentuan terbawah (awid-awig/pararem). Kemudian dirancang item-itemnya untuk disepakati dan lanjut dilaksanakan tanpa kompromi lagi – law enforcement, tidak lagi slow atau lowbet – lambat, apalagi sampai rendah energi alias tidak berani menegakkan aturan.
Ingat, Bali dan juga desa adat secara keseluruhan adalah tuan rumah (ane ngelahang gumine), penjaga keajegan adat, tradisi, budaya, religi dan kearifan lokal lainnya. Jangan sampai modal ketakson Bali itu dijual murah (murahan) yang berujung pada tampilan sikap, tindakan atau perilaku para pelaku pariwisata, terutama kalangan pelancong (turis : domestik dan manca negara) menganggap Bali sebagai pulau komoditi (arena jual beli), pulau selebriti (bebas berekspresi) atau pulau hedoni — bisa dengan sepuas hati menikmati sensasi segala atraksi kendatipun berada di ruang dan waktu yang diklaim privacy, tetapi efek kegiatan/acaranya (mobilitas : manusia, lalu lalang kendaraan, volume/desibelitas suara, dll) dapat menganggu ketenangan, kenyamaman, ketentraman, bahkan keamanan lingkungan.
Terlebih merusak konsentrasi kekhusukan krama adat (Hindu) yang sedang melaksanakan aktivitas religi bhakti melalui ritual suci kehadapan Hyang Widhi. Sekaligus membahayakan kesehatan umat yang memiliki riwayat anti polusi kebisingan dan penyakit jantung. Sudah saatnya pihak berwenang, tidak hanya memanggil tetapi juga menindak tegas pelaku pariwisata dimaksud.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar