Sejumlah wisatawan menikmati liburan di Pantai Seminyak, Badung. Bali kini dipenuhi becah club. Bahkan sejumlah aktivitas beach club bisa merusak tatanan budaya Bali. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kini dipenuhi becah club. Bahkan sejumlah aktivitas beach club bisa merusak tatanan budaya Bali. Para pengamat pariwisata berharap pariwasata budaya Bali jangan dibiarkan terus diganggu beach club.

Pantai adalah milik publik dan bagi umat Hindu pantai termasuk kawasan suci. Ketua PHRI Bali, Prof.
Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Senin (21/10) mengatakan, konsep pariwisata budaya dipegang Bali sejak ditetapkan tahun 1970-an, dan sampai sekarang belum bergeser dari konsep tersebut.

Hanya saja setiap periode perlu adanya redefinisi- redefinisi dengan konteks kekinian. Agar alam tidak banyak diganggu, hendaknya tidak banyak fokus pada pengusahaan alamnya. Namun, akhir-akhir ini sangat masif perusakan terhadap alam sehingga perlu menekankan definisi konsep budaya tersebut agar tidak merusak alam dan budaya Bali.

Ditambahkan, alam Bali tidak hanya alam nyata tapi juga alam niskala yang juga dipercaya ada oleh orang Bali. Maka dalam konteks itu, pelaku pariwisata yang memanfaatkan alam Bali, khususnya sempadan pantai hendaknya menghormati tempat tersebut sebagai tempat suci. “Ada tanah kekeran, ada tanah ini, itu juga perlu kita perhitungkan untuk menjaga taksu Bali,” ujarnya.

Baca juga:  Hujan, Doa Bersama Pembukaan Masa Kampanye Pilgub Digelar di Ruangan

Dengan alam dan pantai Bali yang indah, tidak menutup kemungkinan akan tumbuh beach club baru di sepanjang pantai. Sementara pantai adalah ruang publik sekaligus tempat suci bagi orang Bali.

Dengan kondisi itu, menurut Cok Ace, panggilan akrabnya, Bali tidak hanya bisa dilihat dari fisiknya, alam dan pantai yang indah, namun perlu dipertimbangkan pantai yang layak dibangun beach club dan tidak.

“Kekuatan niskala alam Bali jangan sampai dikesampingkan. Kalau di daerah-daerah yang di sana mengedepankan spiritualitasnya tinggi, jangan dimasukkan beach club. Kalau pantai itu misalnya bendeganya kuat, lautnya kuat untuk masyarakat kita. Ya… jangan dimasukkan beach club. Seharusnya, dengan potensi pantai dan laut seperti itu justru harus didukung harus dimiliki masyarakat Bali,” ujarnya.

Baca juga:  Bintang Puspayoga akan Jadi Menteri PPPA?

Menurutnya, keberadaan beach club tidak hanya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Mengingat Bali mengembangkan pariwisata budaya perlu dipertimbangkan konsep tersebut agar tidak hanya mengutamakan kekinian.

“Jika pariwisata Bali diisi hal-hal atau fasilitas baru di luar konteks budaya Bali, apakah rasa Bali-nya masih tetap ada? Harus ada campuran yang tepat untuk meramu pariwisata Bali ini,” ujarnya.

Ketua PHRI Badung Agung Rai Suryawijaya mengatakan, beach club merupakan fasilitas pariwisata yang menunjang perubahan kebutuhan pariwisata. Beach club juga membuka lapangan pekerjaan dan memberi kontribusi pada pemerintah. “Yang penting mengikuti aturan dan norma-norma sesuai dengan budaya Bali,” ujarnya.

Karena di Bali kerap menggunakan pantai sebagai ruang suci untuk berupacara maka beach club tidak bisa memakan sempadan pantai seenaknya. Selain itu pantai adalah ruang publik, bukan milik beach club.

“Yang penting dalam operasionalnya mengikuti aturan aturan, misalnya suara musik jangan terlalu keras, karena hotel sebelah atau penginapan atau penduduk bisa terganggu sehingga tidak menimbulkan keributan, ada aturan volume suaranya kalau tidak salah, tidak lebih dari 70 desibel,” ujarnya.

Baca juga:  Oknum Pramugari Nyabu Dilimpahkan ke Kejaksaan

Melakukan kegiatan seperti pesta kembang api juga hendaknya menyesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut. “Tidak bisa melakukan firework (kembang api) setiap hari, jadi komitmen komitmen itu harus dilaksanakan dengan baik jangan dilanggar,” ujarnya.

Ia menegaskan pantai adalah ruang publik bukan area private jadi jangan sampai mengganggu aktivitas ritual agama Hindu dan budaya Bali.

Menurut lelaku pariwisata, Made Sulasa Jaya, permasalahan beach club merupakan fenomena sangut jadi raja, yang mana penguasa menghamba pada pariwisata (sangut). “Kalau pemimpin daerah menghamba kepada pariwisata, akibatnya apapun maunya investor pariwisata, akan dibiarkan saja. Investor minta kepala pemimpin pun sepertinya akan dikasi,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN