DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat Pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S.,M.Par., mengatakan pariwisata di Bali, yang sejak lama dikenal sebagai destinasi budaya dan alam yang harmonis, kini menghadapi tantangan serius akibat eksploitasi alam dan budaya Bali yang berlebihan. Termasuk kurangnya rekognisi terhadap nilai-nilai lokal.
Ini terbukti dengan semakin maraknya kasus terkait pariwisata yang menunjukkan ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian budaya serta alam Bali. Meskipun Bali mengusung konsep pariwisata budaya sesuai Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang menekankan pada pelestarian dan harmonisasi budaya dan adat, spiritualitas, dan lingkungan (Tri Hita Karana).
Salah satu contoh yang mencederai kesakralan budaya Bali adalah insiden pesta kembang api di Canggu, tepatnya di Finns Beach Club. Yang berlangsung saat sedang diadakan upacara keagamaan oleh masyarakat setempat. Kegiatan ini tidak hanya dianggap mengganggu, tetapi juga menandakan kurangnya sensitivitas terhadap budaya Bali yang sangat menghormati siklus spiritual dan keseimbangan alam.
Bagi masyarakat Bali, alam dan adat adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari, dan pelanggaran terhadap salah satu aspek ini dapat dianggap sebagai bentuk peremehan terhadap nilai-nilai leluhur
Kasus lain yang mengkhawatirkan adalah coretan “For Sale” yang ditemukan di tebing Nusa Penida. Ini bukan hanya contoh vandalisme, tetapi juga simbolisasi bagaimana tanah Bali dan kekayaan alamnya dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan tanpa mempedulikan nilai spiritual dan ekologis yang melekat di dalamnya.
Pulau-pulau seperti Nusa Penida, yang menjadi surga alami dengan keindahan tebing-tebingnya, harusnya dilindungi dari kerusakan fisik maupun simbolis seperti ini.
Fenomena ini menandakan adanya krisis dalam pengelolaan pariwisata Bali. Alih-alih mempertahankan keaslian budaya dan keindahan alam yang menjadi daya tarik utama pulau ini, banyak pelaku industri pariwisata dan wisatawan justru merusaknya. Masalah ini semakin diperparah dengan kurangnya regulasi yang ketat dan penegakan hukum yang lemah terhadap tindakan yang tidak menghormati alam dan budaya setempat.
Kedua kasus ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Bali dalam mempertahankan identitas budayanya di tengah tekanan komersialisasi. Jika tidak ada langkah tegas dari pemerintah, masyarakat adat, dan pelaku pariwisata untuk menghentikan degradasi ini, Bali mungkin kehilangan salah satu aspek paling berharga dari warisan leluhur, yaitu keselarasan antara manusia, alam, dan spiritualitas sesuai konsep Tri Hita Karana. (Ketut Winata/balipost)