DENPASAR, BALIPOST.com – Keberadaan Pantai di Bali terutama yang di kawasan pesisir dibangun akomodasi wisata seperti hotel atau beach club adalah milik publik terutama masyarakat lokal dalam wilayah desa adat. Kawasan pesisir pantai bukan milik hotel. Setiap pemaftaan ruang kawasan pantai mestinya selalu berkoordinasi dengan desa adat setempat.
Anggota DPR RI dari PDIP, I Wayan Sudirta mengingatkan bahwa pantai di Bali telah lama dijaga oleh krama desa adat untuk keperluan ritual, dan bukan dimiliki oleh pihak hotel atau fasilitas pariwisata yang kebetulan berada di lokasi tersebut.
Sudirta juga mendorong agar setiap pemanfaatan ruang publik, khususnya pantai di kawasan wisata, selalu dikoordinasikan dengan Desa Adat yang mengelola wilayah tersebut. Menurutnya, koordinasi ini penting untuk menghormati peran desa adat yang telah merawat pantai sebagai tempat penyelenggaraan ritual agama Hindu. Apalagi, pantai bukanlah milik hotel atau fasilitas pariwisata di depannya, melainkan ruang publik yang telah lama dimanfaatkan oleh desa adat untuk berbagai ritual suci.
“Ingat, pantai itu bukan milik hotel atau fasilitas pariwisata yang ada di depannya, tetapi pantai itu ruang publik, di mana desa adat sudah sejak ratusan tahun merawat dan memanfaatkannya, seperti untuk ritual malasti, malukat, nganyud, dan lain-lain,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota DPR RI Komisi VI, I Gde Sumarjaya Linggih, menekankan pentingnya koordinasi antara pelaku pariwisata dan kepentingan desa adat di Bali, mengingat desa adat memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan budaya dan pariwisata. Sebab, bagi krama Bali, kepentingan desa adat jauh lebih penting daripada sekadar masuknya pajak hotel dan restoran, karena pengorbanan orang Bali itu pengorbanan suci. Mereka mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak perlu imbalan dari pariwisata.
Pria yang akrab disapa Demer ini menegaskan bahwa sinergi antara pariwisata dan desa adat boleh saja terjadi, namun jangan sampai merugikan keberadaan desa adat dan kegiatan upacara adat. “Bersinergi boleh, tapi kalau mengeksploitasi hingga mengganggu keberadaan desa adat dan upacara, saya tidak setuju. Karena Hindu dan adat budaya di Bali sudah ada jauh sebelum pariwisata hadir,” ujarnya.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan lainnya, I Nyoman Parta, menyoroti pentingnya menghormati kearifan lokal Bali, terutama bagi pelaku usaha yang mencari keuntungan dari pariwisata Bali. Menurutnya, pelaku usaha di Bali seharusnya tidak hanya menjaga, tetapi juga menghormati adat dan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
“Berusaha di Bali, mencari keuntungan di Bali, harusnya menghormati kearifan lokal Bali, termasuk di dalamnya menghormati ritualnya. Jangankan menjaga, menghormati saja tidak bisa,” tutup Parta. (Ketut Winata/balipost)