DENPASAR, BALIPOST.com – Pernyataan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terkait semua produk yang diniagakan di Indonesia wajib bersertifikat halal mengundang polemik. Termasuk makanan di hotel, restoran dan kafe wajib bersertifikat halal. Hal ini dinilai mengada-ada dan akan menjadi penghambat investasi.
Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Unud I Made Sarjana, Minggu (27/10) mengatakan, produk makanan di hotel tidak semua segmentasinya dari kalangan yang mempertimbangkan ada tidaknya sertifikat halal sebelum membeli. “Terlalu mengada-ada aturan itu. Kenapa semua harus diseragamkan dan disentralisasi?” ujarnya.
Menurutnya, kalau memang produk dikonsumsi konsumen membutuhkan sertifikat halal hanya dilokalisir pada restoran dan hotel tertentu saja. “Artinya dari pihak hotel dan restauran bersangkutan yang mengajukan diri disertifikasi halal, sehingga tidak diwajibkan,” ujarnya.
Jika diwajibkan menurutnya akan menjadi ekonomi berbiaya tinggi, karena sertifikasi halal membutuhkan biaya yang tidak murah. Sehingga hotel mesti menaikan biaya produksi karena mendapatkan sertifikat itu. “Kebijakan ini harus dikaji ulang, dan beri ruang kepada pengusaha berkreativitas,” ujarnya.
Menurutnya jika aturan itu diterapkan, usaha di sektor pariwisata akan menjadi terlalu banyak aturan yang tidak sejalan dengan upaya mempermudah perijinan investasi. “Bisa jadi kontra produktif, dimana gairah orang berusaha di sektor makanan menurun, dan ini menurunkan peluang kerja bagi kalangan milenial,” ujarnya.
Pelaku usaha pariwisata I Made Sulasa Jaya menambahkan konsep pemasaran pariwisata memperluas bentang pasar yakni keragaman pasar dengan keragaman adat budaya yang berpotensi lebih besar mendatangkan devisa negara dan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga menurutnya dengan kebijakan menghalalkan semua produk niaga, maka pasar pariwisata Bali akan terbatas. “Pariwisata halal punya pasar lebih terbatas,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)