Oleh Cokorda Istri Agung Evita Nindia Putri
Bali yang terkenal sebagai pusat pariwisata dunia, menarik wisatawan dari seluruh penjuru dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya. Seiring dengan berkembangnya industri pariwisata, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris semakin mendominasi percakapan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda. Banyak yang merasa bahwa menguasai kedua bahasa ini adalah kunci untuk bersaing di dunia kerja, terutama di sektor pariwisata.
Salah satu penyebab utama berkurangnya penggunaan bahasa Bali oleh generasi muda adalah pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi. Akses yang semakin luas terhadap informasi dan budaya dari luar menyebabkan anak muda lebih akrab dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan kedua bahasa ini lebih dominan di media sosial, pendidikan, dan dunia kerja, sehingga bahasa Bali mulai dilupakan.
Selain itu, urbanisasi dan arus modernisasi turut mendorong anak muda untuk meninggalkan tradisi dan budaya lokal. Bahasa Bali dianggap kurang praktis, terutama karena perbedaan tingkatan bahasanya yang dinilai rumit oleh banyak anak muda. Bahasa Bali memiliki banyak tingkatan (sor singgih), mulai dari bahasa Bali alus hingga bahasa Bali kasar, yang penggunaannya bergantung pada status sosial dan konteks percakapan.
Bahasa Bali alus digunakan dalam situasi formal atau saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati, sementara bahasa Bali kasar lebih banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari di antara teman sebaya. Kompleksitas ini sering membuat anak muda merasa canggung dan takut salah dalam penggunaannya, sehingga mereka lebih memilih bahasa yang lebih mudah, seperti bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
Salah satu contoh, orang yang tidak lancar berbahasa Bali umumnya adalah orang asli Bali yang merantau ke luar kota. Di kota, mereka jarang menggunakan bahasa Bali karena mayoritas orang di sana berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Ketika mereka kembali ke desa, masyarakat setempat mengajak mereka berbicara menggunakan bahasa Bali. Namun, saat mereka mencoba menjawab dengan bahasa Bali yang terdengar kaku dan tidak lancar, hal tersebut sering kali menjadi bahan tertawaan. Akibatnya, mereka merasa malu dan semakin enggan untuk berbicara menggunakan bahasa Bali.
Meningkatkan kepercayaan diri dalam berbahasa Bali sangat penting agar bahasa ini tidak dilupakan. Jangan takut berbuat salah, karena kesalahan adalah bagian dari proses belajar yang akan membantu kita semakin mahir dan menjaga bahasa Bali tetap hidup di kalangan generasi muda.
Harapan untuk melestarikan bahasa Bali tetap ada. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu dengan mendirikan TK Hindu di masing-masing desa, dan juga mendirikan Pesraman. TK Hindu dan Persraman ini didirikan sebagai tempat bagi anak-anak untuk belajar dan mendalami nilai-nilai budaya Bali, termasuk bahasa Bali. Dengan adanya TK Hindu dan Pesraman, budaya Bali diharapkan tidak terlupakan oleh generasi mendatang.
Diperlukan juga penyuluhan bahasa Bali yang intensif dengan pendekatan kreatif, dipandu oleh generasi muda agar lebih relevan dan menarik bagi anak-anak muda sehingga membuat anak muda lebih bangga menggunakan bahasa Bali. Selain itu, guru-guru bahasa Bali perlu dilatih menggunakan metode interaktif agar pembelajaran bahasa Bali lebih menarik bagi generasi muda.
Penting untuk membiasakan berbahasa Bali kepada anak-anak sejak dini. Mengajarkan bahasa ini di usia muda akan membuat mereka lebih mudah memahami dan menggunakannya dengan lancar seiring bertambahnya usia. Tidak lupa juga untuk membiasakan penggunaan Bahasa Bali di lingkungan keluarga.
Selain itu, penggunaan teknologi dan media sosial juga bisa menjadi solusi inovatif untuk mempromosikan bahasa Bali. Konten digital seperti video pembelajaran, aplikasi, atau permainan berbahasa Bali bisa membuat bahasa ini lebih mudah diakses dan dipahami oleh generasi milenial dan Gen Z. Dengan cara ini, bahasa Bali tidak hanya terpelihara, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan modern.Melestarikan bahasa Bali bukan hanya soal menjaga alat komunikasi, tetapi juga menjaga identitas.
Penulis, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Udayana Angkatan-4