Oleh I Gusti Ketut Widana
Rangkaian hari suci Galungan berlangsung enam puluh hari, dimulai rerainan Tumpek Bubuh, berakhir pada Budha Kliwon wuku Pahang yang dikenal dengan sebutan Pegat Uwakan/Wakan atau Pegat Warah. Durasi panjang tersebut memberikan motivasi, inspirasi sekaligus sugesti bagi umat Hindu bahwa aktualisasi makna filosofi Galungan sebagai momentum kemenangan dharma atas adharma memerlukan penguatan tiada henti. Ritualisasi (upacaranya) boleh saja selesai (sidhakarya) tetapi implementasi nilai-nilai dharma tak akan pernah berakhir sampai mencapai tujuan (sidhaning don) — terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Lontar Sundarigama menyuratkan: Buda Kliwon Pegatwakan, ngaran, pati warah panelasning mengku, dhyana semadi, waraning Dungulan ika, wekasing perelina, ngaran kalingan ika, pakenaning sang wiku lumekasang kang yoga semadi, umoring kala ana ring nguni, saha widi-widana sarwa pwitra, wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa abesik, katur ring Sang Hyang Tunggal, panyeneng tatebus (Buda Kliwon Pahang merupakan hari Pegatwakan, karena saat itu adalah berakhirnya tapa brata. Sang wiku patut melaksanakan renungan suci. Sarananya yaitu wangi-wangian dan sesayut dirgayusa dan dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Tunggal, serta dilengkapi juga dengan panyeneng dan tetebus).
Ditelisik secara leksikal, Pegat Uwakan, berasal dari kata “pegat” berarti putus dan “uwakan” (uwak) berarti kembali, dalam arti dapat lagi melakukan kegiatan yadnya tertentu yang selama kurun waktu uncal balung serangkaian Galungan tidak dibolehkan. Secara filosofis nguncal balung dapat dimaknai sebagai wujud melepaskan kekuatan Sang Kala Tiga atau sifat-sifat kala menuju kekuatan Sanghyang Tiga Wisesa.
Sang Kala Tiga yang dimaksud tidak lain dari Sang Bhuta Galungan yang turun menggoda umat menjelang hari Galungan. Disebut “Pegat Warah”, sebagai penanda masa berakhirnya pawarah-warah (penyampaian) pengetahuan dharma, dan selanjutnya tinggal diamalkan saja.
Untuk kegiatan terkait rerainan Pegat Wakan, di antaranya terlebih dahulu menghaturkan sesaji ke hadapan Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari, sebagai rasa syukur atas berkah anugerahnya sehingga hari suci Galungan-Kuningan berlangsung dengan rahayu. Setelah itu, semua atribut ritual Galungan-Kuningan dibersihkan, dimulai mencabut penjor, lalu kelengkapan seperti bakang-bakang, tamiang, ter, endongan, lamak, sampian, gantung-gantungan, dan sarana lainnya dibakar lanjut abunya dimasukkan ke dalam kelapa muda (bungkak nyuh gading), kemudian ditanam di belakang palinggih Rong Telu. Maknanya, memohon kepada Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari agar diberkati kesuburan (kesejahteraan) hingga nanti bisa melaksanakan lagi hari suci Galungan-Kuningan.
Satu hal penting dalam memaknai ritual Pegat Wakan adalah, dengan berakhirnya masa pawarah-warah dan tapa brata selama berlangsungnya hari suci Galungan-Kuningan umat sudah teruji kemampuan pengendalian dirinya. Boleh dikatakan filosofi kemenangan dharma atas adharma itu ditandai dengan kekuatan dalam mengendalikan diri. Sehingga tinggal diimplementasikan di dalam pergaulan sehari-hari.
Dalam konteks kekinian, kemenangan dimaksud adalah berupa “pegat matuwakan”, keinginan besar untuk memutuskan hobi yang sekarang sepertinya sudah berkembang menjadi tradisi, yaitu “seminar” — seka minum arak/tuwak. Fenomena “seminar” ini harus diakui begitu marak di kalangan krama Bali. Tidak saja di kalangan orang dewasa (tua), tetapi sudah merembet di kalangan anak remaja, malah kaum wanita juga mulai menggandrunginya.
Celakanya, kegiatan “seminar” ini tidak saja dilakukan insidental (sekali waktu), tetapi nyaris setiap saat bisa ditemukan acara minum miras, entah itu di sudut kampung/kota, pelataran toko/warung, poskamling/pos ronda, balai pertemuan, dan tempat kumpul/nongkrong lainnya. Bahkan lebih fatal lagi diadakan pada moment ritual sakral, menggambarkan betapa sudah semakin bercampur-baurnya antara emosi keagamaan dengan sensasi penghiburan (kesenangan).
Inilah yang kemudian dapat disebut sebagai pesta konsumerisme-hedonisme di panggung ritual. Sehingga melalui aktivitas sosial ritual, bukan pendakian spiritual yang terjadi melainkan penguatan spirit-habitual mengarah pemanjaan hasrat sensasional, tidak lagi sejalan dengan tujuan ritual — menuju pembersihan, penyucian dan atau pemurnian jiwa.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar